Jumat, 24 Mei 2013

Perwakilan Itu Penting. Tanya Kenapa..


Delegate & Trustee? Hmm apaan tuh?

Ok, saya mulai dari pertanyaan, bisakah rakyat se-Indonesia raya mengambil keputusan tanpa perwakilan?

Jawabannya...

Satu

Dua

Tiga

Bisa!

Hehe, mungkin teman-teman mengira saya akan jawab tidak. Ya, kan?

Aduh, ada yang protes. "Lho, kalau bisa, kenapa ditanya?" Ok, sabar ya, saya akan terangkan satu persatu. Lagi-lagi ini telah dijelaskan di Workshop Parlemen Untuk Pemula, tanggal 19 dan 20 Mei 2013 lalu. Nah, nyesel kan gak ikut? "Bukan gak mau ikut Bu, kuotanya habis," Baiklah.

Begini..

Praktik pelibatan rakyat dalam proses pengambilan putusan bisa dilihat dari pemilihan presiden. Betulkan? Apalagi? Ada juga negara yang memerlukan pendapat rakyatnya untuk melakukan perubahan konstitusi negara, bentuk negara, dan lain-lain. Mekanisme itu ditempuh melalui referendum, plebisit atau popular vote, bukan musyawarah. Kalau musyawarah, mungkin bisa terjadi di Polis Yunani, tempo doeloe.
 
Pertanyaannya, tentu tidak semua keputusan dapat diambil dengan mengajak seluruh warga berpartisipasi langsung. Bisa dibayangkan betapa repot dan borosnya waktu yang digunakan, jika semua keputusan harus melibatkan seluruh rakyat di sebuah negara. Karena itulah, dibutuhkan perwakilan. 


Untuk memahamkan pentingnya perwakilan, dalam workshop ini peserta diajak bersimulasi. Saya membagi peserta dalam beberapa kelompok. Kenapa harus dibagi di depan? Itu strategi, kalau peserta boring tinggal dipancing untuk menyampaikan yel-yelnya! Ssst, sekalian cara agar mereka mulai dekat-mendekati masing-masing kelompok, karena di awal mereka sudah diberi tugas memilih walikota (untuk sesi hari kedua). Apa yang terjadi? Kita lihat di artikel selanjutnya, sesi Rehat. Begitulah politik, rehat pun jadi sarana kampanye.

Selanjutnya, kelompok IV !

Selanjutnya, rekan saya fasilitator dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), Erik Kurniawan mengajukan permasalahan. "Bagaimana tanggapan teman-teman terhadap rencana kenaikan harga BBM"

Tahap pertama, peserta diminta untuk mengambil keputusan. "Saya beri waktu 10 menit," kata Fasilitator.

Apa yang terjadi, saudara-saudara! Hehe, seperti diprediksi, masing-masing peserta mengajukan pendapat dan mempertahankan pendapatnya masing-masing. Chaos! Wah, ada yang pake gebrak meja segala! Ssst, biarin aja. Itulah yang juga terjadi di parlemen kita.



   


Mereka sedang serius!

Yang gebrak meja, sedang main-main? Tidak! Sama sekali tidak sedang bermain. Dia memang serius mempertahankan pendapatnya. Segitunya? Ya, itulah yang terjadi.  Dia sendiri yang mengatakan terbawa emosi.

Hasilnya: 10 menit gagal mengambil keputusan.

Tahap kedua, masing-masing kelompok ada yang 30, 20 peserta, dst, diminta untuk menentukan 4 wakil dan menyuarakan pendapat kelompoknya. Wakil ini hanya boleh berpendapat sesuai dengan kesepakatan di kelompok



"Siapa nih, yang pas jadi wakil kita?"


Apa hasilnya? Lagi-lagi 10 menit gagal mengambil keputusan. Terang saja gagal, karena mereka harus bersuara sesuai dengan kesepakatan kelompok. Ada yang setuju dengan kenaikan BBM, ada yang ingin BBM tidak naik, ada yang mau distribusi BBM dibatasi, dll.

Tipe wakil seperti ini disebut dengan Delegate (Delegasi).


Tahap ketiga, masing-masing kelompok diminta untuk menentukan wakilnya masing-masing, sebanyak dua orang, dimana wakil tersebut dipercaya penuh untuk mengambil keputusan.

Tipe wakil seperti ini disebut Trustee.

Hasilnya?

Wow! Pada workshop di hari pertama, mereka sepakat BBM naik selama 6 bulan pertama (untuk melihat bagaimana reaksi publik dan kondisi masyarakat terdampak). Pada workshop di hari kedua, -dengan peserta yang berbeda- mereka sepakat BBM tidak jadi naik.

Apa yang dapat direfleksikan dari proses ini?

Refleksi atas proses delegate & trustee

Setelah simulasi, ada banyak hal yang mereka ungkapkan sendiri, antara lain:

Pertama, memiliki wakil itu penting. Kedua, tak semua masalah bisa diputuskan melalui delegasi. Dalam banyak persoalan, diperlukan trustee. Ketiga, baik delegasi maupun trustee, meniscayakan adanya pengenalan, integritas, dan kapasitas wakil. Keempat, pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan akses antara wakil dan konstituennya.

Nah, yuk sekali lagi kita lihat, selain delegatee dan trustee, apa saja jenis teori keterwakilan lainnya.




 Semoga mudah dipahami dan bermanfaat. Inilah cara yang menyenangkan untuk memahami pentingnya fungsi perwakilan. Fun, bukan?

Partai.. Parlemen.. Apa Pendapatmu?

"Pemetaan Persepsi", itulah agenda penting di awal Workshop Pengenalan Parlemen Untuk Pemula. Memetakan persepsi ini penting untuk dua tujuan.




Persepsi Peserta Terhadap Partai dan Parlemen
Pertama, menggali apa sebenarnya yang ada dalam alam bawah sadar peserta tentang partai politik dan parlemen. Kedua, sebagai bahan refleksi setelah melewati simulasi. Dengan refleksi ini, kita akan mengetahui, ternyata apa yang kita persepsikan bahwa partai dan parlemen itu: ....., ....., ...., juga kita praktikkan pada saat simulai. Nah, tantangannya apa yang bisa kita lakukan bersama untuk memperbaikinya.



 
Peserta Sedang Menempel Metaplan Persepsi
Sebelum berlanjut, kayaknya penting untuk dibahas dulu apa itu Parlemen Untuk Pemula? Ya, tepatnya Workshop Pengenalan Parlemen Untuk Pemula. Pemula di sini, mengandung dua konotasi. Pertama, pemula dalam hal usia. Kedua, pemula dalam hal pengetahuan terhadap parlemen.

Anyway, jangan tersinggung ya. Kalau di sejumlah negara, pemula itu memang benar-benar anak-anak SD sampai SMA. Kalau di sini? Kita memulainya dari para mahasiswa. Wah, ketinggalan amat ya? Gak juga dan kita semua perlu memahami kondisi ini. Inilah dampak dari pengabaian pendidikan politik di sekolah.

Kita kembali ke soal persepsi. Kamu sendiri bagaimana? Boleh ya, saya ajak juga pembaca untuk brainstorming sebentar. Tolong jawab pertanyaan ini. Kalau kamu mendengar partai dan parlemen, apa yang terlintas dalam benakmu? Kampanye, pemilu, persaingan, uang, kotor, dan lain-lain. Tambah sendiri deh.

Jika dalam alam bawah sadar yang menentukan 80 persen tindakan kita tersebut, bersemayam persepsi demikian, lalu bisa diperkirakan apa yang terjadi?  

Pertama, menjadi anggota parlemen jauh dari cita-cita. Itulah hasil survey Metro TV tahun 2010 lalu. Dari 10 besar cita-cita anak Indonesia, menjadi anggota parlemen tak masuk di dalamnya.

Kedua, para orang tua juga enggan anaknya menjadi anggota parlemen. Nah, itulah hasil survey Kompas pada tahun 2012 lalu. Hampir 60 persen dari 1200 responden menyatakan tidak ingin anaknya menjadi anggota parlemen. Bagaimana dengan hasil pemetaan persepsi dalam dua workshop ini? Ternyata hasilnya sama. Mayoritas mereka berpandangan negatif terhadap partai politik dan parlemen.

Semoga teman-teman sepakat. Sebenarnya, politik itu bersih lho, bahkan Aristoteles mengatakan, politik itu hulu dari kebaikan sebuah negara. Kalau politiknya baik maka, baiklah negara tersebut. Nah, jika sekarang politik itu menjadi kotor, itu karena perilaku oknumnya. Dan kita menjadi konsumen atas perilaku mereka. Mengapa kita berdiam? Yuk, mulai membangun persepsi yang benar tentang politik.Bahwa politik itu adalah aktivitas melayani kepentingan publik melalui kekuasaan yang kita raih dengan bermartabat.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code