Selasa, 16 April 2013

Mereka Enggan Jadi Anggota DPR. Kenapa?


“Halo! Selamat siang Metro TV. Cita-cita menjadi anggota DPR, ada di urutan ke berapa?” Begitulah naskah singkat yang saya siapkan, terkait berita tentang 10 besar cita-cita anak Indonesia, yang disiarkan sekitar Agustus 2011 lalu.

Saya yakin 100 persen, Anda sudah tahu, menjadi anggota DPR tak masuk dalam urutan 10 besar. Ya, tentu saya yakin karena Anda pasti membaca sub-judul di atas, “Bukan 10 Besar”.

Kalau begitu, ada di urutan berapa ya? Rasa penasaran Anda sama seperti saya. Tapi niat menelpon itu urung terlaksana. Saya amat yakin 50 besar pun, sepertinya tidak masuk. Kok bisa? Pengalaman kami, setiap pemetaan persepsi tentang parlemen, siapapun pesertanya, baik mahasiswa, sarjana, bahkan kader partai, opini yang negatif selalu saja dominan.

Nah, mungkinkah anak-anak punya persepsi yang berbeda? Gak mungkin, karena sumbernya sama.
Sekarang, bagaimana pendapat para orang tua di Indonesia? Ini dia beritanya!

Survei: Orangtua Tak Mau Anaknya Jadi Anggota DPR

Dahulu, kebanyakan orangtua menginginkan anaknya menjadi pejabat, salah satunya menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, sekarang, keadaannya berbalik. Mayoritas orangtua tak ingin anaknya menjadi anggota Dewan. Hal itu terungkap dalam survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dipaparkan oleh peneliti LSI Rully Akbar, di Kantor LSI di Jakarta, Minggu (18/11/2012).Survei ini dilakukan 12-15 November 2012, dengan jumlah responden 1.200 orang yang ditentukan dengan multistage random sampling. Adapun, tingkat kesalahannya plus minus 2,9 persen. Bagaimana hasil survei itu?

Sebanyak 56,43 persen responden menyatakan tidak ingin anaknya menjadi anggota Dewan di Pemilu 2014. Hanya 37,62 persen orangtua yang ingin anaknya duduk di parlemen dan 5,95 persen menjawab tidak tahu.

Angka itu hampir sama ketika ditanya apakah responden ingin menjadi anggota Dewan di Pemilu 2014. Sebanyak 54,92 persen responden tidak ingin menjadi anggota Dewan. Hanya 38,37 persen yang ingin menjadi anggota Dewan dan 6,71 persen menjawab tidak tahu.

Rully menambahkan, angka itu berbeda dibanding hasil survei tahun 2008. Saat itu, mayoritas responden atau 59,22 persen ingin anaknya menjadi anggota Dewan. Hanya 31,32 persen yang menjawab tidak ingin dan 9,46 peren tidak menjawab.
"Ada peningkatan 25 persen publik yang tidak ingin keturunan mereka jadi anggota DPR. Anggota Dewan tidak lagi jadi primadona orangtua," kata Rully.

Mengapa hal bisa terjadi? Dikatakan Rully, maraknya kasus korupsi yang menjerat anggota Dewan membuat makin pudarnya keinginan publik menjadi anggota Dewan. Selain itu, semakin banyak anggota Dewan yang terlibat kasus amoral seperti perselingkuhan hingga indisipliner seperti tidur saat rapat maupun bolos.

Apakah Anda ingin keturunan Anda menjadi anggota Dewan? (Sumber: kompas.com, 18 November 2012)

Anda?

Maaf, saya kutip sekali lagi penutup berita di atas, “Apakah Anda ingin keturunan Anda menjadi anggota Dewan?” Hmm, yang belum punya keturunan, silakan berandai-andai.

Nah, jawaban Anda, tentu tergantung pada persepsi dan persepsi Anda tentang Dewan tergantung pada? Yang mau tau, ayo baca terus!

Media

Seorang anggota Dewan mengeluh, “Media sih terlalu bebas. Kalau kabar buruk, pasti diberitakan. Padahal, belum tentu benar. Tau gak, di eksekutif itu jauh lebih parah! Yang baik-baik, gak diberitakan,”

Ternyata keluhan ini, ada benarnya juga. Saya punya cerita di balik kalimat, “Padahal, belum tentu benar”.  Suatu hari, seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) menemui saya, saat menjadi staf pada anggota DPR. Eits, tunggu dulu! Bukan sembarang aktivis lho. Pendapatnya dikutip banyak media cetak dan elektronik.

Dengan tergopoh-gopoh, “Mana data kemarin? Mana? Aduh! Data yang kukasih ke koran itu salah. Dimuat lagi hari ini. Untung gak ada yang protes!” katanya sembari membolak-balik tumpukan laporan anggaran dari satu kementerian.

Kira-kira berapa banyak ya, orang yang dikelirukan oleh teman saya melalui media itu? Berapa sering kekeliruan macam ini terjadi? Lalu berapa orang yang tahu kekeliruan tersebut? Apakah mereka merasa perlu mengklarifikasinya? 

Kita tinggalkan dulu kisahnya. Saya ingin mengajak Anda untuk mengingat-ingat faktor apa saja yang mengitari berita positif, netral, maupun negatif tentang parlemen.  Oya, kami menggunakan istilah parlemen secara bergantian dengan sinonimnya; dewan, perwakilan, legislatif, dan DPR. Maaf, sementara ini, tidak untuk diperdebatkan ya. Setuju? Yang setuju boleh lanjut! Yang tidak? Boleh juga.

Apa saja yang menyebabkan dominannya berita tentang anggota DPR di media?
1.      Banyaknya narasumber, sumber, dan nilai berita
Ada 560 orang anggota DPR RI yang dapat menjadi narasumber sekaligus sumber berita. Jumlah tersebut cukup besar bagi media, untuk mendapatkan berita yang bernilai. Mari lihat, apa saja nilai peristiwa yang layak menjadi berita?
-          C (consequences, dampak peristiwa).
Misalnya, kenaikan harga BBM.  Pendapat anggota DPR dan fraksi tentu sangat ditunggu publik, karena akan mempengaruhi keputusan pemerintah.
-          H (human interest, sisi kemanusiaan).
Contoh: beratnya perjuangan politisi perempuan, apalagi mereka yang berperan sebagai orang tua tunggal. Tapi sayangnya, kisah macam ini jarang ditemukan di media.  
-          P (prominence, ketokohan).
Kadang ada yang protes, “Pendapat gitu aja, kok diberitakan,” Maaf, memang ada jenis opini yang dipublikasi bukan karena kualitas, tetapi karena siapa yang mengatakan. Mau? Jadi tokoh dulu ya. Caranya? Antara lain dengan menjadi anggota Dewan.
-          P (proximity, kedekatan peristiwa dengan pembaca).
Setiap anggota Dewan merupakan wakil dari satu daerah pemilihan. Jadi, jika pun di tingkat nasional belum layak diberitakan, di tingkat lokal bisa jadi berita yang bombastis.
-          T (timeliness, kebaruan sebuah peristiwa).
Kapan pun perstiwanya, ketika dibahas di Dewan, itu bernilai berita. Kenapa? Pertama, pembahasan itu, berpotensi melahirkan kebijakan yang berbeda dari sebelumnya. Kedua, kalau pun tidak ada kebijakan baru, tetap layak jadi berita. Ayo ingat, pernah baca berita, “DPR-Pemerintah, Buntu.”

Aha! Selalu ada alasan untuk memuat berita tentang lembaga kita yang tercinta ini.

Nilai-nilai berita tentu tidak berdiri sendiri ia kembali dibingkai oleh sudut pandang media terhadap sebuah peristiwa. Inilah yang melahirkan kesan positif-negatif.

2.      Keterbukaan dan Kemudahan Akses
Meski sejumlah kalangan mengeluhkan sulitnya akses informasi di DPR, tetapi dibandingkan birokrasi di lembaga eksekutif dan yudikatif, DPR relatif lebih terbuka dan mudah.

3.      Pentingnya Fungsi Lembaga
DPR merupakan institusi sentral dalam proses pembentukan undang-undang, pengawasan, dan anggaran.

Dalam masa sidang, minimal ada 33 rapat untuk 11 Komisi setiap minggu (Senin, Rabu, Kamis). Belum termasuk rapat-rapat di alat kelengkapan Dewan lainnya. Ini semua adalah potensi sumber berita.

4.      Kinerja Kelembagaan dan Individu
Seperti diketahui, ada masalah dalam kinerja DPR secara kelembagaan, misalnya tentang capaian program legislasi nasional (prolegnas). Demikian pula dengan perilaku dan gaya hidup oknum anggota DPR yang memang kurang patut. Bagaimana dengan Dewan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota? Semakin banyaklah narasumber dan sumber berita.

Sementara itu, di internal media sendiri. Ada setidaknya empat faktor, yang mempengaruhi mengapa DPR, penting dan menarik di mata media.

1.      Visi dan Misi Perusahaan Media.

Saat ini, berkembang kesadaran bahwa perusahaan harus berkontribusi pada nilai-nilai kemanusiaan. Tidak semata-mata kepentingan jangka pendek. Bagaimana media memaknainya?
Antara lain dengan memposisikan diri sebagai pengontrol DPR, agar lembaga ini serius bekerja dan berempati pada rakyat.

Silakan perhatikan, siapa pengelola opini publik sehingga pimpinan DPR membatalkan rencana pembangunan gedung baru? Media. Ya, salah satu media nasional. Media dengan misi demikian, umumnya telah mapan secara finansial dan jaringan, sehingga tak terpengaruh dengan posisi tawar apapun dari DPR, apalagi sekadar pemasangan advertorial.

2.      Kepentingan Politik
Sejatinya, kata kepentingan politik adalah sesuatu yang netral. Tetapi dalam konteks ini, lebih ditekankan pada perilaku media yang mendukung kepentingan jangka pendek sebuah partai (kekuasaan). Mungkin karena itu, berita negatif anggota Dewan dari partai yang dianggap “lawan” dipublikasikan secara besar-besaran oleh media tersebut.

Dampaknya, tidak hanya menimpa satu partai tetapi juga berpotensi mengganggu citra lembaga Dewan. Kalau sudah urusan politik, rating (peringkat) tak lagi jadi soal.

3.      Pertimbangan Selera Pasar
Bad news is good news (kabar buruk adalah berita baik –layak jual). Begitulah, salah satu prinsip umum media.  Ada banyak media kecil juga hidup dari sini. Anda pernah mengamati bagaimana berita koran-koran murah di stasiun atau terminal. Apa isinya? Berita-berita negatif, salah satunya soal anggota-anggota Dewan.

4.      Naluri dan Kreativitas Jurnalis.
Anggota Dewan juga manusia, memiliki beragam perilaku, kesenangan, dan aktivitas. Dengan bekal persepsi, naluri, kreativitas, sangat mudah bagi media, jika ingin menyorot mereka dalam nada negatif. Mudah sekali! Karena merek jam tangan, seorang anggota Dewan, bisa begitu buruknya di mata media. “Padahal, itu jam bekas lho,” kata seorang staf anggota. “Ssst, harganya tak semahal perkiraan media,”

Sekolah

Pemerintah berencana akan menambah jam belajar di sekolah untuk semua siswa di jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh beralasan, nilai sosial yang berubah sehingga menuntut adanya perubahan di dunia pendidikan.

"Alasannya jelas karena ada perubahan sosial. Daripada lebih banyak di luar sekolah dan tercemar hal negatif, lebih baik kita perpanjang waktu di sekolahnya," kata Nuh seusai membuka Indonesian Science Festival (ISF), di Senayan, Jakarta, Rabu (19/9/2012).
Diakui Nuh, berdasarkan hasil kaji ulang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), efektivitas pembelajaran di sekolah masih sangat kurang. "Sekarang ini, berapa lama anak anak-anak ada di sekolah, enam sampai delapan jam. Tapi untuk apa kalau efektivitasnya belum memuaskan, maka kita tambah waktu di sekolahnya," pungkas Nuh. (kom/brs/ts)

Anda pasti pernah membaca berita di atas? Coba ingat-ingat, kapan? Satu, dua, tiga! Sudah ingat? Barusan setengah menit lalu, bukan? Ya, minimal itu.

Apa kira-kira komentar Anda. Mungkin Anda mengatakan, “Syukurlah, kalau pak Menteri sadar,” atau sebaliknya, “Emang di sekolah lebih baik dari di luar? Dari mana anak-anak dapat contoh kelakuan atau kata-kata yang gak sopan?”

Baiklah, baiklah. Apapun pendapat itu, tentu Anda sepakat pada satu hal; sekolah perlu berperan dalam pembentukan pola pikir, persepsi, dan perilaku anak-anak. Termasuk tentang politik. “Gak salah?” Tidak, Anda tidak salah baca. “Mungkin salah ketik?” Tidak juga, kami tidak salah ketik, termasuk tentang Po-li-tik.   

Jadi, saran untuk pak Menteri, lama saja tidak cukup, efektif saja juga tak cukup. Sekolah perlu didorong untuk memiliki misi, kurikulum, dan program pengenalan politik.

“Bagaimana kalau dikembalikan kepada sekolah masing-masing?” Ya, boleh-boleh saja, tapi jangan heran nanti jawabannya begini. “Oya? Oo begitu, iya bagus banget, tapi maaf sekolah kami tidak mengajarkan itu,” Ayo pak Menteri mau bilang apa? Padahal sekolah demikian justru berkontribusi dengan “mengizinkan” lingkungan di luar sekolah untuk membentuk pola pikir, persepsi, dan perilaku politik anak didik mereka.

Nah, agar sekolah dapat berkontribusi secara langsung pada tiga hal di atas, maka ada 4 hal minimal, yang perlu diperhatikan, yaitu:

1.      Pendidikan Karakter
Sekolah perlu lebih peduli pada pentingnya nilai hidup, karakter, dan misi manusia. Guru dan sekolah seharusnya jauh lebih resah, ketika seorang anak didik tidak tidak punya cita-cita, atau hal sederhana; tidak bisa antri, daripada nilai matematikanya rendah.
Sulit mengharapkan masa depan yang lebih baik, ketika generasi muda tidak dipersiapkan dengan sebuah karakter yang berbeda dari generasi sebelumnya. Apa yang mengubah sebuah generasi? Jawabnya pendidikan karakter dan kreativitas. Bukan pendidikan berbasis hapalan dan angka-angka.

2.      Kecerdasan Majemuk
Apa ukuran sekolah tentang anak cerdas di hari ini? Nilai matematika, fisika, kimia, atau bahasa Inggris. Padahal kecerdasan tak hanya itu. Bagaimana jika ada seorang anak yang nilai matematika dan bahasanya sangat rendah, tetapi pandai bergaul dan memiliki banyak teman?

Dalam ilmu kecerdasan majemuk (multiple intelligent), anak demikian disebut anak dengan kecerdasan interpersonal. Itulah salah satu kecerdasan yang dibutuhkan sebagai anggota parlemen. Sayang bukan, jika potensi ini dimatikan oleh sekolah. Yah, sekolah kita saat ini tidak membedakan anak-anak berdasarkan potensi akademis dan akademia.

3.      Referensi Politik dan Politisi Ideal
Setelah mengenalkan pentingnya misi dan nilai hidup, sekolah perlu mengenalkan politik dan politisi ideal.  Anak-anak perlu disadarkan bahwa misi itu bisa dijalankan dengan menjadi politisi. Politisi macam apa?

Nah, sekolahlah yang mengambil peran itu, bukan dibiarkan begitu saja.

Mungkin ada yang bertanya, “Apa anak-anak bisa diajak berpikir gitu? Kan masa bermain?” Yuk, baca petikan berikut:

 “Saya baru selesai membaca Of Mice and Man karya John Steinbeck. Buku ini merasuki jiwa saya. Meresap. Saya perhatikan dalam buku ini bahwa anak-anak tidak pernah menghakimi siapapun dari warna kulit mereka. Hanya orang dewasalah yang menghakimi dengan cara demikian.  Yang saya pelajari dari buku itu adalah walaupun saya suatu hari kelak akan menjadi dewasa, takkan pernah saya melupakan pelajaran-pelajaran seorang anak,”

Itulah ucapan seorang anak usia 4 tahun saat berdialog dengan motivator, Mr. Anthony Robbins. Talmadge E Griffin, namanya. Ia murid dari Westside Preparatory School, dididik oleh sang guru,  Ms. Marva Collins. Apa yang Ibu guru itu lakukan? Antara lain mengganti buku-buku cerita “Lihatlah spot berlari,..” dengan buku-buku Shakespeare, Sophocles, dan Tolstoy!

Hari ini, saya dan mungkin Anda  merindukan sebuah generasi yang tak cuma membaca, “Si Budi dan Iwan bermain-main di halaman”, tetapi juga menamatkan “Di Bawah Bendera Revolusi”. Lalu seperti Talmadge, mereka berkata, “Meresap!”

Kita tak kekurangan sejarah keteladanan seorang politisi, yang pejuang, yang  negarawan dan hidup dalam kesederhanaan. Ada Bung Karno yang kerap dipenjara, bahkan diasingkan. Tapi tak pernah jera untuk kemerdekaan Indonesia. Potret kesederhanaan bisa kita dapatkan dari Bung Hatta dengan cerita sepatu Bally yang tak terbeli hingga wafat.

Juga ada Pak Natsir dengan pakaian penuh tambalan, bahkan saat menjadi Menteri. Ketika masa bakti di departemennya berakhir, beliau ke pulang ke rumah naik sepeda. Ya, hanya membawa sebuah sepeda. Bagaimana dengan politisi hari ini? Apakah sekolah telah mengenalkan dan menanamkan jiwa-jiwa perjuangan, kenegarawanan, kesederhanaan mereka?

4.      Pengenalan Kelembagaan Dewan

Setelah memahami politik ideal, sekolah perlu mengenalkan kelembagaan Dewan, sekreatif mungkin. Misalnya? Ya, melalui permainan, simulasi, kunjungan ke Dewan, sehari bersama anggota Dewan, mengundang anggota Dewan ke sekolah untuk bercerita, mengajak siswa memfasilitasi persoalan masyarakat. Misalnya, pengadaan perpustakaan kelurahan, melalui anggota DPRD Kota.

“Eh, cerdas cermat, gimana? Penting lho,” Kalau program yang satu itu? Hmm, maaf setelah membaca teorinya Edwad de Bono tentang kecerdasan majemuk dan menjadi pengikut komunitas Indonesian Strong From Home bersama Ayah Edy, sepertinya cerdas cermat, tak lagi masuk hitungan.

Kesimpulannya, kita membutuhkan dukungan kurikulum, bahan bacaan, paradigma dan keteladanan para guru, dan kreativitas pengajaran, untuk melahirkan sebuah generasi yang lebih baik, yang memaknai politik dengan benar, tidak hanya berdasar pada persepsi umum. Jika suatu saat menjadi anggota DPR masuk dalam 10 besar, di tangan merekalah, cita-cita itu pantas tergenggam.

Lingkungan

Masih soal cita-cita, ini lagi-lagi tak masuk 10 besar. “Anakku itu lho, cita-citanya kok jadi satpam,” kata seorang Ibu tentang anaknya yang sekolah di Taman Kanak-Kanak. Usut punya usut, ternyata si anak melihat tetangganya yang bekerja sebagai satpam itu, bisa membeli sebuah sepeda motor.

“Yah, namanya juga anak-anak,” Maaf, kalau itu semua juga tahu. Pembelajarannya adalah lingkungan akan berpengaruh pada pembentukan persepsi dan cita-cita anak. “Hmm, bagaimana kalau dia tahu bahwa anggota Dewan bisa punya Bentley, Lexus RX 270, Hummer HR, Mercedes Benz, Toyota Alphard Velfire atau Harrier, dan Jeep Wrangler?” pikir saya.

Entahlah, mungkin saja cita-citanya berganti, tetapi bisa juga tidak, karena keinginannya memang sederhana. Atau, mungkin saja dia ingin menjadi anggota Dewan dan keinginannya tak berubah, sebuah sepeda motor, karena dia memaknai jabatan sebagai panggilan hidup.

Inilah politisi yang menurut Harold D. Laswell dalam Psypathology and Politics sebagai tipe politisi idealis (berkuasa demi sebuah cita-cita, ide besar atau keyakinan) atau setidaknya administrator berkuasa untuk mendorong program-program partai. 

Yang dikhawatirkan, jika dia ingin menjadi anggota Dewan, hanya untuk mendapatkan deretan mobil mewah itu dan kekuasaan. Tipe agitator, Laswell menyebutnya. Biasanya, kategori seperti inilah yang rawan terjebak pada pemberhalaan komoditas dan korup.

Nah, potensi untuk menjadi tipe agitator itu sungguh terbuka lebar, saat anak-anak tak memiliki penyaring  terhadap asupan televisi, koran, serta lingkungan sebagai penyuplai definisi bahagia dari hitungan harta bukan dari minat dan kontribusi terhadap nilai-nilai kemanusiaan. 

Selanjutnya? Simak di Workshop Parlemen Untuk Pemula 2013!

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code