Seperti
pengalaman beberapa waktu sebelumnya, rencana kenaikan harga minyak ini
juga berpotensi menimbulkan persoalan serius karena beberapa hal
berikut. Pertama, rakyat selama ini merasa pemerintah selalu mengambil
jalan pintas setiap kali ada kenaikan harga minyak internasional yakni
menaikkan harga BBM domestik. Padahal, persoalan minyak di Indonesia
ragamnya sangat banyak dan menghendaki perubahan yang mendasar.
Dari
sisi hulu, penguasaan asing mencapai sekitar 80% dari total produksi
dan tidak ada tanda-tanda akan berkurang. Mereka berproduksi dengan
kecenderungan terus menurun, tapi biaya pemulihan (cost recovery) terus
menjulang tiap tahun (ini menjadi beban pemerintah).
Impor
minyak tidak langsung ditangani Pertamina, namun dikerjakan oleh Petral
yang tidak langsung berhubungan dengan produsen langsung (negara)
sehingga harga minyak impor lebih mahal. Rakyat marah kenapa ihwal
semacam ini yang sudah berjalan puluhan tahun dibiarkan, tapi saat APBN
dikatakan jebol selalu solusinya kenaikan harga BBM.
Kedua,
pemerintah berargumentasi bahwa kenaikan harga BBM untuk menyelamatkan
neraca perdagangan yang sejak 2012 mengalami defisit. Pertimbangannya,
konsumsi BBM yang terus meningkat (di mana sebagian harus diimpor)
membuat pembengkakan impor makin besar sehingga menyebabkan defisit
neraca perdagangan.
Tapi, pemerintah menyembunyikan satu data
lainnya yang penting, sejak 2007-2011 (sebelum terjadi defisit
perdagangan pada 2012) memang pertumbuhan ekspor nonmigas jauh lebih
rendah ketimbang impor nonmigas. Selama kurun waktu itu pertumbuhan
ekspor nonmigas hanya 14%, namun pertumbuhan impor nonmigas sebesar 22%.
Dengan gambaran itu, sudah pasti tanpa ada kenaikan impor BBM
pun dipastikan defisit neraca perdagangan akan terjadi, hanya soal
waktu. Jadi, mestinya persoalan defisit neraca perdagangan tidak boleh
dilokalisir hanya oleh sebab impor migas.
Ketiga, pemerintah
menganggap bahwa subsidi BBM s u d a h pada level yang membahayakan
sehingga mengganggu stabilitas fiskal. Defisit fiskal akan makin besar
jika harga BBM tidak dikurangi. Masalahnya, selama ini rencana defisit
yang dibuat pemerintah tidak pernah bisa direalisasi (di bawah target)
karena penyerapan APBN yang buruk. Pada 2012 misalnya seluruh pos APBN
penyerapannya di bawah 90%, kecuali untuk pos subsidi dan belanja
pegawai sehingga defisit APBN juga lebih kecil dari rencana (meskipun
pos subsidi lebih besar dari perencanaan).
Sampai sekarang pun
saya kira penyerapan APBN juga akan mengalami problem yang sama sehingga
apabila subsidi BBM bertambah, belum tentu akan menambah defisit APBN.
Dengan demikian, argumen pemerintah di atas akan benar bila pemerintah
penyerapan anggarannya bagus. Sayangnya, mengharapkan penyerapan bagus
seperti rencana sampai saat ini masih sebatas fatamorgana.
Ongkos Lebih Besar
Jika
pun tiga hal di atas dianggap tidak ada, kenaikan harga BBM itu
sekurangnya akan menimbulkan persoalan berikut. Prediksi pertumbuhan
ekonomi tahun ini akan berada di bawah 6,3% meski harga minyak tidak
naik yang disebabkan makin tidak jelasnya prospek pemulihan ekonomi di
AS dan Eropa sehingga harga beberapa komoditas primer turun (yang
mengakibatkan ekspor Indonesia tertekan).
Di sisi lain, impor
tidak bisa ditekan lebih rendah lagi karena ketergantungan produksi
nasional terhadap bahan baku impor. Karena itu, ekspor tidak dapat
diharapkan menyumbang pertumbuhan ekonomi. Lainnya, inflasi tahun ini
sulit dikendalikan pemerintah karena masalah harga pangan.
Inflasi
tanpa kenaikan harga minyak diperkirakan akan berada pada level 5,5-6%
tahun ini. Jika ditambahkan dengan inflasi yang diakibatkan oleh
kenaikan BBM, inflasi akan berada di kisaran 7,5%. Inflasi bahkan akan
lebih tinggi lagi jika pemerintah tidak bisa mengelola ekspektasi
masyarakat akibat kenaikan harga BBM dan komoditas pangan tersebut. Jika
inflasi berada pada level itu, dua hal akan segera terjadi.
Pertama,
tingkat suku bunga akan segera naik sehingga membuat biaya investasi
mahal. Implikasinya, investasi turun sehingga dari sisi penawaran
membuat sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi akan melemah. Sementara
penurunan investasi mengakibatkan prospek penciptaan lapangan kerja juga
memburuk sehingga akan terjadi pembengkakan pengangguran. Situasi itu
tentu akan sangat mengganggu stabilitas makroekonomi.
Kedua,
kenaikan inflasi membuat daya beli masyarakat merosot, terlebih mereka
yang tergolong berpendapatan menengah- bawah. Seperti peristiwa kenaikan
BBM pada 2005 yang diikuti inflasi tinggi dan kenaikan angka
kemiskinan (meskipun sudah diberi BLT), kali ini pun situasinya akan
sama.
Dengan gambaran ini mudah dipahami bahwa orang miskin pun
menolak kenaikan harga BBM (yang dipersepsikan hanya menguntungkan
orang kaya) karena pada dasarnya beban terbesar tetap ditanggung kaum
miskin. Saya melihat bahwa jika kali ini harga BBM dinaikkan dengan
potensi penghematan sekitar Rp20 triliun, rasanya itu perlu dianalisis
lagi secara mendalam.
Jika dikalkulasi lebih komprehensif
dengan memperhitungkan potensi yang hilang dari investasi, pertumbuhan
ekonomi, dan kenaikan jumlah orang miskin (plus biaya untuk kompensasi
orang miskin, apa pun programnya), hampir pasti ongkos secara
keseluruhan nilainya lebih besar dari Rp20 triliun.
Karena itu,
bila skema ini yang terjadi, kebijakan ini dengan menggunakan analisis
standar biaya dan manfaat (cost and benefit ratio) sebetulnya
neracanya tidak seimbang. Padahal jika dibuat daftar lagi, masih banyak
hal lain yang bakal merugikan pemerintah dan masyarakat akibat
kebijakan ini.
Sungguh pun begitu, apabila pemerintah tetap
bersikeras mengambil pilihan ini, diharapkan sudah memahami pekerjaan
rumah yang harus dikerjakan, baik secara ekonomi, sosial, maupun
politik. Jika tidak mampu menyiapkan secara laik, kebijakan ini bakal
menjadi blunder dan menggulung rezim ini persis di tikungan terakhir.
AHMAD ERANI YUSTIKA Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Direktur Eksekutif Indef