Senin, 15 April 2013

605 Ribu Warga Bengkulu Belum Terekam E-KTP

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Bengkulu Hamka Sabri mengatakan hingga saat ini masih ada  605 ribu  warga Provinsi Bengkulu belum merekam data Elektronik-Kartu Tanda Penduduk (E-KTP). Hal tersebut menunjukan masih ada pekerjaan rumah pemerintah untuk menuntaskan hal tersebut hingga Juni 2013.

"Sebanyak 35 persen dari 1.705 juta penduduk Bengkulu belum terekam data e-KTP," katanya, Senin 11 Maret 2013. Hamka mengatakan target rekam data bagi 605 ribu orang warga Bengkulu ini diharapkan terealisasi dengan dukungan semua pihak, terutama warga yang wajib KTP.

Direktur Informasi Kependudukan Direktorat Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Sugiarto di Bengkulu mengutarakan, masih terdapat 10 juta orang yang wajib KTP namun belum merekam data E-KTP sehingga perlu percepatan dengan target pada Juni 2013 sudah tuntas.

Ia mengatakan hal itu dalam temu teknis percepatan perekaman data E-KTP yang diikuti dinas kependudukan dan pencatatan sipil kabupaten dan kota di Provinsi Bengkulu. "Perekaman data reguler E-KTP tersebut penting dipercepat karena pada 31 Desember 2013 KTP manual tidak berlaku lagi," ungkapnya.

Ia menambahkan apabila perekaman data secara massal sudah tercapai 173 juta warga Indonesia maka perekaman data reguler yang perlu dipercepat.

Lebih lanjut dikatakan Sugiarto, perekaman data reguler sebanyak 10 juta orang tersebut merupakan warga yang memasuki usia peralihan dari 16 tahun ke 17 tahun yang sudah wajib KTP, serta warga yang sudah menikah.

Menurutnya, Secara umum kendala perekaman data E-KTP di Indonesia memiliki kendala yang hampir sama, yakni rendahnya kesadaran masyarakat, minimnya petugas, jarak atau lokasi penduduk di wilayah pedalaman serta peralatan terutama di wilayah Timur dengan medan yang cukup berat.

Meski demikian, dengan keterbatasan tersebut, pihjaknya optimis realisasi percepatan rekam data E-KTP yang ditargetkan hingga Juni 2013 akan terealisasi.

Parpol Di Bengkulu Kesulitan Caleg Perempuan

Sejumlah partai politik peserta Pemilu 2014 di provinsi Bengkulu mengaku kesulitan memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan untuk anggota legislatif pada pemilu mendatang. Hal ini terjadi karena kebanyak perempuan di Bengkulu tidak siap berkarier di dunia politik. "Kita kesulitan untuk memenuhi kuota 30 persen terwakilan perempuan pada calon anggota legeslatif di daerah ini. Sebagian perempuan di Bengkulu tak siap berkarier di politik," kata Ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Provinsi Bengkulu, Diah Nurwiyanti Agusrin, kepada Antara, di Bengkulu, Jumat (15/3).

Ia mengatakan, tidak tercapainya kuota perempuan untuk caleg pada pemilu 2014 di Bengkulu bukan hanya alami PPP saja, tapi sejumlah partai peserta pemilu lainnya di daerah ini juga mengalami hal yang sama.

Hal ini terjadi karena animo perempuan di Bengkulu untuk berpolitik masih rendah. "Tidak banyak perempuan yang mau dan berniat terjun ke dunia politik, sehingga kita kesulitan memenuhi kuota 30 persen caleg dari perempuan," ujar istri mantan Gubernur Bengkulu, Agusrin Maryono Najamudin.

Hal senada diungkapkan Sekretaris DPD Partai Gerindra Provinsi Bengkulu, Sis Rahman. Ia mengatakan, pihaknya kesulitan untuk menjaring caleg perempuan untuk diusung pada pemilihan legislatif 2014.

"Kita benar-benar kesulitan untuk menjaring caleg perempuan yang akan diusung Partai Gerindra pada pemilu legilsatif nanti, terutama calon legislatif tingkat kabupaten dan kota. Akibatnya, kuota keterwakilan caleg perempuan tidak dapat direalisasikan dengan baik," ujarnya.
  
Sedangkan untuk kuota keterwakilan 30 persen caleg perempuan untuk anggota DPRD Provinsi Bengkulu dari Partai Gerindra sudah terpenuhi dengan baik. "Kalau  untuk caleg DPRD Provinsi Bengkulu, kuota 30 persen keterwakilan perempuan dapat atasi dengan baik," ujarnya.

M Sis Rahman mengatakan, rendahnya partisipasi politik perempuan di Bengkulu tidak terlepas dari kultur yang dianut masyarakat. Namun Partai Gerindra terus berupaya meningkatkan partisipasi politik kaum perempuan lewat organisasi sayap politik, Perempuan Indonesia Raya (Pira).

"Organisasi ini salah satu tumpuan untuk memproses kader perempuan sehingga siap maju sebagai calon legislatif pada pemilu legislatif 2014 mendatang," ujarnya.

Keterwakilan perempuan, katanya tidak hanya dengan menempatkan perempuan dalam daftar caleg saja, tapi memiliki kapasitas dan elektabilitas yang baik.

Karena itu, kader perempuan yang diusung Partai Gerindra pada pemilu legeslatif 2014 adalah caleg yang siap menang dan mampu menerjemahkan cita-cita partai dan konstituen.

"Kami akan melakukan wawancara tahap akhir terhadap seluruh calon legislatif yang akan diusulkan sebagai daftar calon sementara. Ini dilakukan agar caleg perempuan dari Gerindra yang kita usung mampu meraih kursi DPRD di tingkat kabupaten, kota dan provinsi di daerah ini," ujarnya.(rga)

sumber: metrobengkulu.com

Kesetaraan Gender di Bengkulu

Secara umum upaya peningkatan kesetaraan gender di Provinsi Bengkulu terutama di bidang pendidikan telah mengalami kemajuan. Hal ini terlihat denganhampir seimbangnya tingkat APS antara laki-laki dan perempuan. Angka APShasil susenas untuk perempuan selalu lebih tinggi pada usia 7 hingga 24 tahun.Hal ini hampir senada dengan hasil dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2011 yang mencatat bahwa jumlah penduduk perempuan umur 15 tahun ke atas yang bersekolah lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki yaitulaki-laki sebanyak 47 ribu jiwa  dan  perempuan  53  ribu  jiwa. 

Di bidang ketenagakerjaan, data Sakernas 2011 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran perempuan sebesar 2,7 persen, sedangkan laki-laki 2,15 persen.TPAK perempuan lebih rendah daripada TPAK laki-laki yaitu 60,77 persendengan 86,38 persen.Dalam hal politik, peran serta perempuan masih perlu ditingkatkan. Proporsiperempuan di DPRD Provinsi Bengkulu baru mencapai 17,77 persen dari kuota30 persen yang diharapkan.read more

Perempuan Dalam Pilkada

Dalam pemilu legislatif 2004 lalu, wacana politik perempuan muncul di permukaan sebagai sebuah paradigma politik baru. Dikatakan baru karena baru pada pemilu tersebut terdapat pasal tentang kuota caleg perempuan yang harus diserahkan oleh partai politik kontestan pemilu kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam pemilu presiden, wacana politik perempuan, juga muncul karena ada salah satu calon presiden yang tampil dalam kontestasi politik memperebutkan jabatan RI-1 walaupun gaungnya sudah tidak sekuat dalam pemilu legislatif.

Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, wacana politik perempuan tidak nampak mengemuka. Bisa dikatakan bahwa sampai saat ini tidak ada orang yang secara intensif membicarakan tentang bagaimana dan di mana posisi perempuan dalam hiruk pikuk perebutan posisi jabatan politik tertinggi di daerah tersebut. Seakan-akan, dalam pilkada, wacana politik perempuan kehilangan relevansi. Ini sesungguhnya adalah sebuah persepsi yang sangat keliru. Sebab, daerah juga membutuhkan pemimpin-pemimpin yang mempunyai kepekaan terhadap kehidupan dan kebutuhan perempuan. Karena itu, wacana politik perempuan tetap relevan dan sudah selayaknya terus diperjuangkan. Mengingat dalam konteks nasional, politik perempuan belum mengalami perkembangan, maka perlu dilakukan segala langkah yang mungkin menjadi celah masuk bagi upaya peningkatan keterlibatan perempuan dalam politik dan kebijakan publik.

Berdasarkan data statistik, jumlah pemilih perempuan lebih besar daripada jumlah pemilih laki-laki. Dengan demikian, dalam konteks politik demokrasi langsung, sesungguhnya dan seharusnya, perempuan mempunyai bargaining atau posisi tawar yang lebih tinggi. Sebab perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai hak suara dan nilai suaranya sama, yakni satu orang satu suara.

Bargaining yang kuat bagi perempuan bisa dicapai jika perempuan mampu mengelola diri sebagai sebuah entitas yang cerdas dan berdaya dalam masyarakat. Dengan demikian, mereka bisa melakukan "tawar-menawar" kepada calon-calon kepala daerah jika ingin sukses dalam pencalonan atau kontestasi. Kelompok perempuan tersebut, setelah membangun diri sebagai sebuah entitas, hendaknya melakukan kontrak politik kepada calon untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan politik perempuan. Kaum perempuan harus secara giat melakukan sosialisasi dan kampanye agar calon-calon yang dinilai tidak mempunyai kepekaan terhadap nasib perempuan jangan sampai dipilih oleh kaum perempuan. Sebab, terpilihnya mereka ini akan berpengaruh besar terhadap pengabdian marjinalisasi peran perempuan dalam masyarakat, melanggengkan nilai-nilai lama yang lekat dengan superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan.

Bargaining perempuan sesungguhnya bisa menjadi sangat tinggi. Jika bercermin dari 5 pilkada yang telah terlaksana, rata-rata tingkat partisipasi masyarakat yang memberikan hak suaranya adalah 70%. Ada 30% suara yang tidak terlibat dalam proses politik yang sesungguhnya sangat penting ini. Padahal angka 30% dalam konteks kebijakan publik mempunyai arti yang sangat signifikan karena dapat mempengaruhi arah kebijakan.

Salah satu hal yang menyebabkan tingginya angka penduduk yang tidak menggunakan hak suaranya adalah karena mereka lebih memilih tetap bekerja pada saat pemungutan suara dilaksanakan. Ini dilakukan karena masyarakat menganggap bahwa pilkada tidak memberikan apa-apa bagi kehidupan mereka. Mereka yang miskin tetap saja miskin siapa pun pemimpin daerahnya. Karena itu, mereka lebih memilih tetap bekerja, mencari uang, karena pergi ke tempat pemungutan suara sama artinya kehilangan uang makan sehari. Terlebih jika mereka yang termasuk ke dalam golongan masyarakat yang kekurangan.

Dalam masyarakat dengan kultur patriarkhi, peran sebagai penanggung jawab rumah tangga yang memberikan nafkah atau kebutuhan ekonomi adalah suami atau laki-laki. Dengan demikian, jumlah laki-laki yang tidak memberikan hak suaranya dalam pilkada menjadi lebih besar daripada perempuan. Itu berarti, perempuan bisa berperan sebagai penentu siapa yang akan menjadi pemenang dalam pilkada. Karena itu, jika kekuatan perempuan sebagai entitas dalam masyarakat tadi dikelola dengan baik, maka tidak akan ada yang berani mengabaikan perempuan dalam pilkada.

Sayangnya, perempuan sampai saat ini masih belum berdaya. Akibatnya, perempuan hanya sekadar dipengaruhi dan dimobilisasi untuk memberikan dukungan suara kepada calon tertentu tanpa adanya perjanjian yang bersifat mengikat. Perempuan cenderung lebih mudah dipengaruhi karena mereka biasanya lebih terbiasa membentuk komunitas-komunitas perempuan, seperti pengajian-pengajian ibu-ibu, kelompok-kelompok arisan, dan lain sebagainya. Para pemain politik, tentu sangat paham tentang adanya kecenderungan kaum perempuan ini dan mencari celah untuk bisa memanfaatkan forum-forum yang berisi kaum perempuan tersebut untuk kepentingan politik mereka.

Harusnya, agar hal tersebut tidak terjadi, forum-forum tersebut justru digunakan oleh perempuan untuk menunjukkan diri sebagai sebuah entitas yang tidak bisa diremehkan, diobrali janji-janji belaka, dan kemudian dimobilisasi. Untuk itu, diperlukan kepedulian dari kelompok-kelompok kritis untuk bisa memberdayakan kaum perempuan ini sehingga mereka lebih mampu untuk meningkatkan posisi tawar mereka di hadapan para elite politik. Di samping itu, langkah tersebut diperlukan dan menjadi sangat penting agar perkumpulan-perkumpulan yang selama ini dijalani kaum perempuan juga menghasilkan pencerdasan bagi mereka, sehingga mereka kemudian bisa sadar tentang eksistensi, hak, dan kewajiban diri sebagai bagian dari masyarakat yang mempunyai hak politik dan mempunyai tanggung jawab yang sama secara moral untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Salah satunya adalah memilih pemimpin yang mempunyai wawasan kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan. Wallahu a'lam bi al-shawab.

Dewi Coryati,
Mahasiswa pascasarjana Ilmu Politik UI,
Pengurus Litbang Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Pusat.

Perempuan dan Kesetaraan Gender


Isu gender cenderung mendiskriditkan dan menyudutkan perempuan dalam posisi yang sangat memprihatinkan. Perempuan selalu ditempatkan pada kondisi marjinal sehingga melahirkan berbagai bentuk ketimpangan sosial. Contohnya seperti ketidakadilan, subordinasi, stereotipe, kekerasan, waktu kerja yang lebih panjang dan lebih banyak, serta sosialisasi ideologi nilai peran. Modernisasi sebagai proses pemicu perubahan dalam berbagai bidang kehidupan manusia telah membawa angin baru bagi perubahan status dan peran gender, khususnya perempuan. Modernisasi telah mengubah citra negatif yang selama ini dituduhkan atas nama perempuan. Modernisasi telah mengangkat harkat dan martabat perempuan sejajar dengan laki-laki. Modernisasi secara hakiki, tidak mewakili jiwa emansipasi. Tetapi kemerdekaan pada emansipasi memberi arah untuk menghadapi pilihan-pilihan eksistensial di tengah modernisasi. Salah satu kenyataan yang sering menjebak adalah perubahan kehidupan kota yang didandani dengan atribut modernisasi. Orang awam hingga kini umumnya masih beranggapan, hiburan dan kenyamanan hidup adalah bisnis perempuan. Hal tersebut menimbulkan estimasi bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang tidak dapat diandalkan. Padahal, perempuan dapat berkompetisi di dalam kehidupan. Dengan segala sudut negatif yang diterima oleh perempuan, apakah modernisasi membawa esensi buruk bagi perempuan?

Makna modernisasi
Modernisasi harus dimengerti sebagai sebuah proses. Sebagai sebuah proses, modernisasi bukan suatu bentuk atau tatanan yang tetap. Cara terbaik untuk memahami modernisasi adalah dengan memahami prosesnya dan bukan akibatnya yaitu masyarakat ”modern”. Membatasi modernisasi hanya pada sebuah bentuk masyarakat modern akan membawa pengingkaran pada proses tersebut. Dalam sebuah proses pada prinsipnya dapat berubah kecuali perubahan itu sendiri. Modernisasi pada suatu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat yang lain. Pada akhirnya kondisi masyarakat bersangkutanlah yang menentukan.
Menurut Max Weber, modernisasi adalah sebuah proses sekularisasi, rasionalisasi, dan desakralisasi. Analisa Weber terhadap modernisasi merupakan analisa yang menyeluruh pada semua aspek sosial. Modernisasi merupakan pergeseran pondasi dari suatu nilai yang lama, menuju pondasi yang lebih supel dan fleksibel.
Modernisasi seperti apakah yang dihadapi perempuan Indonesia pada umumnya? Modernisasi kehidupan perempuan membawa akibat-akibat yang sebenarnya sudah bisa diduga. Perubahan nilai-nilai, keyakinan, dan norma-norma yang terus bergulir ke arah yang lebih baru dan modern selalu menjadi pembahasan karena selalu ada pertanyaan yakni mengapa sulit menempatkan perempuan sederajat dengan laki-laki.

Emansipasi Dalam Modernitas
Menurut Mohammad Fathoni, catatan sejarah peradaban manusia, benih-benih egaliter antara laki-laki dan perempuan tumbuh dan berkembang sejak awal abad ke-19, dan persamaan hak bagi perempuan baru dalam abad ke-20 berangsur-angsur dilembagakan. Proses itu meliputi hak terjun dalam masyarakat, hak bersuara dalam politik, hak memperoleh kesempatan pendidikan yang sama, dan hak memperoleh penilaian atau upah yang sama. Di jaman modernisasi ini, perempuan Indonesia khususnya masih sulit dan dibuat sulit menggunakan hak-hak itu. Antara lain, perempuan dicurigai bahwa modernisasi mengakibatkan tumbuhnya sifat maskulin mengarah kepada intelektualisme dan feminisme, yang membuatnya ingin bersaing penuh dengan laki-laki.
Walaupun dunia ramai meneriakkan hak-hak asasi manusia, sebenarnya yang diteriakkan hak laki-laki. Perempuan hanya masuk hitungan ketika diperlukan. Perempuan sering mengalami pendiskriditkan atas kehidupan. Menurut Mary Wollstonecraft (Vindication of the Rights of Woman), perempuan terjebak oleh faktor-faktor biologis, physiologis, maupun psikologis. Sehingga perempuan berusaha memperkuat diri dalam situasi dan kondisi demi mendapatkan kekuasaan dalam hidup. Perempuan kerap menonjolkan sisi “keindahan”. Hiburan dan kenyamanan menjadi bisnisnya. Sebab, memang dari perempuan masyarakat berharap bisa lebih banyak mendapatkan hiburan dan kenyamanan hidup. Inilah dilema yang dihadapi perempuan.
Dilain hal, ketidakadilan gender, kekerasan, dan hambatan budaya yang menyebabkan banyak perempuan belum mengenyam pendidikan yang baik dan masih sekali lagi termarginalkan. Maraknya kasus perdagangan perempuan (trafficking) dan berbagai kasus yang menimpa TKW Indonesia di luar negeri, merupakan akibat rendahnya tingkat pendidikan mereka, yang sampai saat ini belum sepenuhnya teratasi. Kekerasan dalam rumah tangga, termasuk pelecehan seksual masih sering terjadi, walaupun payung hukum yang melindungi kaum perempuan sudah ada. Seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; Keppres Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak.
Di sudut lain, terlepas dari sikap pro-kontra dari masyarakat, budaya seks yang selama ini berkembang menyudutkan perempuan. Banyak perempuan yang merendahkan dirinya, tidak mengindahkan nilai-nilai dan norma yang berlaku. Perempuan Indonesia dalam posisi yang memprihatinkan. Di satu sisi, ada golongan yang mengedepankan kekuatan perempuan dari sudut pandang intelektual. Sisi yang lain, adanya penindasan terhadap nilai-nilai keperempuanan. Modernisasi telah menjadi pendorong bagi terjadinya perubahan, perkembangan dan pembangunan dalam berbagai dimensi kehidupan, termasuk diantaranya adalah perubahan status dan peran gender, dari perlakuan yang diskriminatif dan tidak adil menuju kesetaraan gender. Perubahan ini pada akhirnya memicu terjadinya kompetisi gender, khususnya kompetisi dalam peluang kerja.

Wanita Sebagai Objek
Dalam pencitraan, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang harus memikat. Untuk itu, ia harus menonjolkan ciri-ciri biologis. Secara umum, perempuan digambarkan sebagai pengurus utama keluarga. Pengertian budaya yang dikandungnya adalah lelaki dan perempuan itu sederajat, tetapi kodratnya berbeda. Sebagian pemikiran menganggap perempuan adalah obyek pemuasan laki-laki. Dari sudut pandang kehidupan, perempuan digambarkan bahwa setinggi apa pun pendidikan perempuan dan sebesar apa pun penghasilannya, kewajibannya adalah di dapur. Di dalam pergaulan ”modern”, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang dipenuhi kekhawatiran tidak memikat atau tidak tampil menawan. Untuk dapat diterima, wanita perlu physically presentable. Melihat fenomena tadi, timbullah persepsi yang salah dan anggapan yang merendahkan martabat perempuan terkait dengan masalah perempuan sebagai obyek.
Kualitas dan sikap yang mencirikan keperempuanan sebagai potensi melekat yang dimiliki seorang perempuan secara kodrati, kini justru kian menjadi aset dalam serangkaian produksi dan pasar industri kebudayaan. Perempuan bahkan telah membangkitkan kembali rasa semacam semangat dan kebahagiaan luar biasa masyarakat yang menghibur diri dengan rangkaian komoditas di etalase kebudayaan populer [Sumbo Tinarbuko].
Dalam dunia perpolitikan, perempuan sering mengalami diskriminasi. Padahal setiap menusia memiliki rasio, diciptakan sama, memiliki hak yang sama dan memiliki kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Perempuan sebagai kelompok yang secara kualitas dalam politik menjadi minoritas. Karena minimnya keterwakilan perempuan di lembaga politik, maka perlakuan yang didapatkan dirasa tidak pantas. Dalam segi politik, keadilan dalam politik bagi perempuan baru terwujud apabila keterwakilan perempuan memadai di lembaga-lembaga politik, baik eksekutif maupun legislatif [Dewi Coryati, Politik Jender].



Kaukus Perempuan Parlemen RI


  

KPPRI merupakan sebuah kaukus yang anggotanya adalah anggota parlemen perempuan dari DPR dan DPD.  Peran perempuan parlemen dalam pengambilan keputusan seperti fungsi legislasi, budgeting dan pengawasan sangat berpengaruh signifikan terhadap arah perkembangan gerakan perempuan di Indonesia. "Tak ada demokrasi tanpa keterwakilan perempuan" akan diuji ketika sebanyak 101 orang anggota DPR-RI perempuan yang dipilih langsung dan 35 orang DPD-RI, menunjukkan peran posisinya di parlemen.

Atas dasar pemikiran di atas, maka dibentuklah sebuah perkumpulan bernama Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia yang disingkat menjadi KPP-RI. Kaukus ini didirikan pada tanggal 19 Juli 2001 dan berkedudukan di ibukota negara, secara bertahap dibentuk juga kaukus perempuan parlemen di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Tingkat provinsi disingkat menjadi KPP-Provinsi dan berkedudukan di ibukota provinsi, sedangkan untuk kaukus di tingkat kabupaten/kota disingkat menjadi KPP-Kab/Kota. . read more
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code