Senin, 15 April 2013

Perempuan dan Kesetaraan Gender


Isu gender cenderung mendiskriditkan dan menyudutkan perempuan dalam posisi yang sangat memprihatinkan. Perempuan selalu ditempatkan pada kondisi marjinal sehingga melahirkan berbagai bentuk ketimpangan sosial. Contohnya seperti ketidakadilan, subordinasi, stereotipe, kekerasan, waktu kerja yang lebih panjang dan lebih banyak, serta sosialisasi ideologi nilai peran. Modernisasi sebagai proses pemicu perubahan dalam berbagai bidang kehidupan manusia telah membawa angin baru bagi perubahan status dan peran gender, khususnya perempuan. Modernisasi telah mengubah citra negatif yang selama ini dituduhkan atas nama perempuan. Modernisasi telah mengangkat harkat dan martabat perempuan sejajar dengan laki-laki. Modernisasi secara hakiki, tidak mewakili jiwa emansipasi. Tetapi kemerdekaan pada emansipasi memberi arah untuk menghadapi pilihan-pilihan eksistensial di tengah modernisasi. Salah satu kenyataan yang sering menjebak adalah perubahan kehidupan kota yang didandani dengan atribut modernisasi. Orang awam hingga kini umumnya masih beranggapan, hiburan dan kenyamanan hidup adalah bisnis perempuan. Hal tersebut menimbulkan estimasi bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang tidak dapat diandalkan. Padahal, perempuan dapat berkompetisi di dalam kehidupan. Dengan segala sudut negatif yang diterima oleh perempuan, apakah modernisasi membawa esensi buruk bagi perempuan?

Makna modernisasi
Modernisasi harus dimengerti sebagai sebuah proses. Sebagai sebuah proses, modernisasi bukan suatu bentuk atau tatanan yang tetap. Cara terbaik untuk memahami modernisasi adalah dengan memahami prosesnya dan bukan akibatnya yaitu masyarakat ”modern”. Membatasi modernisasi hanya pada sebuah bentuk masyarakat modern akan membawa pengingkaran pada proses tersebut. Dalam sebuah proses pada prinsipnya dapat berubah kecuali perubahan itu sendiri. Modernisasi pada suatu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat yang lain. Pada akhirnya kondisi masyarakat bersangkutanlah yang menentukan.
Menurut Max Weber, modernisasi adalah sebuah proses sekularisasi, rasionalisasi, dan desakralisasi. Analisa Weber terhadap modernisasi merupakan analisa yang menyeluruh pada semua aspek sosial. Modernisasi merupakan pergeseran pondasi dari suatu nilai yang lama, menuju pondasi yang lebih supel dan fleksibel.
Modernisasi seperti apakah yang dihadapi perempuan Indonesia pada umumnya? Modernisasi kehidupan perempuan membawa akibat-akibat yang sebenarnya sudah bisa diduga. Perubahan nilai-nilai, keyakinan, dan norma-norma yang terus bergulir ke arah yang lebih baru dan modern selalu menjadi pembahasan karena selalu ada pertanyaan yakni mengapa sulit menempatkan perempuan sederajat dengan laki-laki.

Emansipasi Dalam Modernitas
Menurut Mohammad Fathoni, catatan sejarah peradaban manusia, benih-benih egaliter antara laki-laki dan perempuan tumbuh dan berkembang sejak awal abad ke-19, dan persamaan hak bagi perempuan baru dalam abad ke-20 berangsur-angsur dilembagakan. Proses itu meliputi hak terjun dalam masyarakat, hak bersuara dalam politik, hak memperoleh kesempatan pendidikan yang sama, dan hak memperoleh penilaian atau upah yang sama. Di jaman modernisasi ini, perempuan Indonesia khususnya masih sulit dan dibuat sulit menggunakan hak-hak itu. Antara lain, perempuan dicurigai bahwa modernisasi mengakibatkan tumbuhnya sifat maskulin mengarah kepada intelektualisme dan feminisme, yang membuatnya ingin bersaing penuh dengan laki-laki.
Walaupun dunia ramai meneriakkan hak-hak asasi manusia, sebenarnya yang diteriakkan hak laki-laki. Perempuan hanya masuk hitungan ketika diperlukan. Perempuan sering mengalami pendiskriditkan atas kehidupan. Menurut Mary Wollstonecraft (Vindication of the Rights of Woman), perempuan terjebak oleh faktor-faktor biologis, physiologis, maupun psikologis. Sehingga perempuan berusaha memperkuat diri dalam situasi dan kondisi demi mendapatkan kekuasaan dalam hidup. Perempuan kerap menonjolkan sisi “keindahan”. Hiburan dan kenyamanan menjadi bisnisnya. Sebab, memang dari perempuan masyarakat berharap bisa lebih banyak mendapatkan hiburan dan kenyamanan hidup. Inilah dilema yang dihadapi perempuan.
Dilain hal, ketidakadilan gender, kekerasan, dan hambatan budaya yang menyebabkan banyak perempuan belum mengenyam pendidikan yang baik dan masih sekali lagi termarginalkan. Maraknya kasus perdagangan perempuan (trafficking) dan berbagai kasus yang menimpa TKW Indonesia di luar negeri, merupakan akibat rendahnya tingkat pendidikan mereka, yang sampai saat ini belum sepenuhnya teratasi. Kekerasan dalam rumah tangga, termasuk pelecehan seksual masih sering terjadi, walaupun payung hukum yang melindungi kaum perempuan sudah ada. Seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; Keppres Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak.
Di sudut lain, terlepas dari sikap pro-kontra dari masyarakat, budaya seks yang selama ini berkembang menyudutkan perempuan. Banyak perempuan yang merendahkan dirinya, tidak mengindahkan nilai-nilai dan norma yang berlaku. Perempuan Indonesia dalam posisi yang memprihatinkan. Di satu sisi, ada golongan yang mengedepankan kekuatan perempuan dari sudut pandang intelektual. Sisi yang lain, adanya penindasan terhadap nilai-nilai keperempuanan. Modernisasi telah menjadi pendorong bagi terjadinya perubahan, perkembangan dan pembangunan dalam berbagai dimensi kehidupan, termasuk diantaranya adalah perubahan status dan peran gender, dari perlakuan yang diskriminatif dan tidak adil menuju kesetaraan gender. Perubahan ini pada akhirnya memicu terjadinya kompetisi gender, khususnya kompetisi dalam peluang kerja.

Wanita Sebagai Objek
Dalam pencitraan, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang harus memikat. Untuk itu, ia harus menonjolkan ciri-ciri biologis. Secara umum, perempuan digambarkan sebagai pengurus utama keluarga. Pengertian budaya yang dikandungnya adalah lelaki dan perempuan itu sederajat, tetapi kodratnya berbeda. Sebagian pemikiran menganggap perempuan adalah obyek pemuasan laki-laki. Dari sudut pandang kehidupan, perempuan digambarkan bahwa setinggi apa pun pendidikan perempuan dan sebesar apa pun penghasilannya, kewajibannya adalah di dapur. Di dalam pergaulan ”modern”, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang dipenuhi kekhawatiran tidak memikat atau tidak tampil menawan. Untuk dapat diterima, wanita perlu physically presentable. Melihat fenomena tadi, timbullah persepsi yang salah dan anggapan yang merendahkan martabat perempuan terkait dengan masalah perempuan sebagai obyek.
Kualitas dan sikap yang mencirikan keperempuanan sebagai potensi melekat yang dimiliki seorang perempuan secara kodrati, kini justru kian menjadi aset dalam serangkaian produksi dan pasar industri kebudayaan. Perempuan bahkan telah membangkitkan kembali rasa semacam semangat dan kebahagiaan luar biasa masyarakat yang menghibur diri dengan rangkaian komoditas di etalase kebudayaan populer [Sumbo Tinarbuko].
Dalam dunia perpolitikan, perempuan sering mengalami diskriminasi. Padahal setiap menusia memiliki rasio, diciptakan sama, memiliki hak yang sama dan memiliki kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Perempuan sebagai kelompok yang secara kualitas dalam politik menjadi minoritas. Karena minimnya keterwakilan perempuan di lembaga politik, maka perlakuan yang didapatkan dirasa tidak pantas. Dalam segi politik, keadilan dalam politik bagi perempuan baru terwujud apabila keterwakilan perempuan memadai di lembaga-lembaga politik, baik eksekutif maupun legislatif [Dewi Coryati, Politik Jender].



0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code