Isu gender cenderung mendiskriditkan dan menyudutkan perempuan dalam posisi yang sangat memprihatinkan. Perempuan selalu ditempatkan pada kondisi marjinal sehingga melahirkan berbagai bentuk ketimpangan sosial. Contohnya seperti ketidakadilan, subordinasi, stereotipe, kekerasan, waktu kerja yang lebih panjang dan lebih banyak, serta sosialisasi ideologi nilai peran. Modernisasi sebagai proses pemicu perubahan dalam berbagai bidang kehidupan manusia telah membawa angin baru bagi perubahan status dan peran gender, khususnya perempuan. Modernisasi telah mengubah citra negatif yang selama ini dituduhkan atas nama perempuan. Modernisasi telah mengangkat harkat dan martabat perempuan sejajar dengan laki-laki. Modernisasi secara hakiki, tidak mewakili jiwa emansipasi. Tetapi kemerdekaan pada emansipasi memberi arah untuk menghadapi pilihan-pilihan eksistensial di tengah modernisasi. Salah satu kenyataan yang sering menjebak adalah perubahan kehidupan kota yang didandani dengan atribut modernisasi. Orang awam hingga kini umumnya masih beranggapan, hiburan dan kenyamanan hidup adalah bisnis perempuan. Hal tersebut menimbulkan estimasi bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang tidak dapat diandalkan. Padahal, perempuan dapat berkompetisi di dalam kehidupan. Dengan segala sudut negatif yang diterima oleh perempuan, apakah modernisasi membawa esensi buruk bagi perempuan?
Makna modernisasi
Modernisasi
harus dimengerti sebagai sebuah proses. Sebagai sebuah proses,
modernisasi bukan suatu bentuk atau tatanan yang tetap. Cara terbaik
untuk memahami modernisasi adalah dengan memahami prosesnya dan bukan
akibatnya yaitu masyarakat ”modern”. Membatasi modernisasi hanya pada
sebuah bentuk masyarakat modern akan membawa pengingkaran pada proses
tersebut. Dalam sebuah proses pada prinsipnya dapat berubah kecuali
perubahan itu sendiri. Modernisasi pada suatu masyarakat dapat berbeda
dengan masyarakat yang lain. Pada akhirnya kondisi masyarakat
bersangkutanlah yang menentukan.
Menurut
Max Weber, modernisasi adalah sebuah proses sekularisasi,
rasionalisasi, dan desakralisasi. Analisa Weber terhadap modernisasi
merupakan analisa yang menyeluruh pada semua aspek sosial. Modernisasi
merupakan pergeseran pondasi dari suatu nilai yang lama, menuju pondasi yang lebih supel dan fleksibel.
Modernisasi
seperti apakah yang dihadapi perempuan Indonesia pada umumnya?
Modernisasi kehidupan perempuan membawa akibat-akibat yang sebenarnya
sudah bisa diduga. Perubahan
nilai-nilai, keyakinan, dan norma-norma yang terus bergulir ke arah
yang lebih baru dan modern selalu menjadi pembahasan karena selalu ada
pertanyaan yakni mengapa sulit menempatkan perempuan sederajat dengan
laki-laki.
Emansipasi Dalam Modernitas
Menurut
Mohammad Fathoni, catatan sejarah peradaban manusia, benih-benih
egaliter antara laki-laki dan perempuan tumbuh dan berkembang sejak awal
abad ke-19, dan persamaan hak bagi perempuan baru dalam abad ke-20
berangsur-angsur dilembagakan. Proses itu meliputi hak terjun dalam
masyarakat, hak bersuara dalam politik, hak memperoleh kesempatan
pendidikan yang sama, dan hak memperoleh penilaian atau upah yang sama.
Di jaman modernisasi ini, perempuan Indonesia khususnya masih sulit dan
dibuat sulit menggunakan hak-hak itu. Antara lain, perempuan
dicurigai bahwa modernisasi mengakibatkan tumbuhnya sifat maskulin
mengarah kepada intelektualisme dan feminisme, yang membuatnya ingin
bersaing penuh dengan laki-laki.
Walaupun
dunia ramai meneriakkan hak-hak asasi manusia, sebenarnya yang
diteriakkan hak laki-laki. Perempuan hanya masuk hitungan ketika
diperlukan. Perempuan sering mengalami pendiskriditkan atas kehidupan. Menurut
Mary Wollstonecraft (Vindication of the Rights of Woman), perempuan
terjebak oleh faktor-faktor biologis, physiologis, maupun psikologis.
Sehingga perempuan berusaha memperkuat diri dalam situasi dan kondisi
demi mendapatkan kekuasaan dalam hidup. Perempuan kerap menonjolkan sisi
“keindahan”.
Hiburan dan kenyamanan menjadi bisnisnya. Sebab, memang dari perempuan
masyarakat berharap bisa lebih banyak mendapatkan hiburan dan kenyamanan
hidup. Inilah dilema yang dihadapi perempuan.
Dilain
hal, ketidakadilan gender, kekerasan, dan hambatan budaya yang
menyebabkan banyak perempuan belum mengenyam pendidikan yang baik dan
masih sekali lagi termarginalkan. Maraknya kasus perdagangan perempuan
(trafficking) dan berbagai kasus yang menimpa TKW Indonesia di luar
negeri, merupakan akibat rendahnya tingkat pendidikan mereka, yang
sampai saat ini belum sepenuhnya teratasi. Kekerasan dalam rumah tangga,
termasuk pelecehan seksual masih sering terjadi, walaupun payung hukum
yang melindungi kaum perempuan sudah ada. Seperti Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; Keppres
Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Perdagangan Perempuan dan Anak.
Di
sudut lain, terlepas dari sikap pro-kontra dari masyarakat, budaya seks
yang selama ini berkembang menyudutkan perempuan. Banyak perempuan yang
merendahkan dirinya, tidak mengindahkan nilai-nilai dan norma yang
berlaku. Perempuan Indonesia dalam posisi yang memprihatinkan. Di
satu sisi, ada golongan yang mengedepankan kekuatan perempuan dari
sudut pandang intelektual. Sisi yang lain, adanya penindasan terhadap
nilai-nilai keperempuanan. Modernisasi telah menjadi pendorong bagi
terjadinya perubahan, perkembangan dan pembangunan dalam berbagai
dimensi kehidupan, termasuk diantaranya adalah perubahan status dan
peran gender, dari perlakuan yang diskriminatif dan tidak adil menuju
kesetaraan gender. Perubahan ini pada akhirnya memicu terjadinya
kompetisi gender, khususnya kompetisi dalam peluang kerja.
Wanita Sebagai Objek
Dalam
pencitraan, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang harus memikat.
Untuk itu, ia harus menonjolkan ciri-ciri biologis. Secara umum,
perempuan digambarkan sebagai pengurus utama keluarga. Pengertian budaya
yang dikandungnya adalah lelaki dan perempuan itu sederajat, tetapi
kodratnya berbeda. Sebagian pemikiran menganggap perempuan adalah obyek
pemuasan laki-laki. Dari sudut pandang kehidupan, perempuan digambarkan
bahwa setinggi apa pun pendidikan perempuan dan sebesar apa pun
penghasilannya, kewajibannya adalah di dapur. Di dalam pergaulan
”modern”, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang dipenuhi
kekhawatiran tidak memikat atau tidak tampil menawan. Untuk dapat
diterima, wanita perlu physically presentable. Melihat fenomena
tadi, timbullah persepsi yang salah dan anggapan yang merendahkan
martabat perempuan terkait dengan masalah perempuan sebagai obyek.
Kualitas
dan sikap yang mencirikan keperempuanan sebagai potensi melekat yang
dimiliki seorang perempuan secara kodrati, kini justru kian menjadi aset
dalam serangkaian produksi dan pasar industri kebudayaan. Perempuan
bahkan telah membangkitkan kembali rasa semacam semangat dan kebahagiaan
luar biasa masyarakat yang menghibur diri dengan rangkaian komoditas di
etalase kebudayaan populer [Sumbo Tinarbuko].
Dalam
dunia perpolitikan, perempuan sering mengalami diskriminasi. Padahal
setiap menusia memiliki rasio, diciptakan sama, memiliki hak yang sama
dan memiliki kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Perempuan
sebagai kelompok yang secara kualitas dalam politik menjadi minoritas.
Karena minimnya keterwakilan perempuan di lembaga politik, maka
perlakuan yang didapatkan dirasa tidak pantas. Dalam segi politik,
keadilan dalam politik bagi perempuan baru terwujud apabila keterwakilan
perempuan memadai di lembaga-lembaga politik, baik eksekutif maupun
legislatif [Dewi Coryati, Politik Jender].
0 komentar:
Posting Komentar