“Halo!
Selamat siang Metro TV. Cita-cita menjadi anggota DPR, ada di urutan ke
berapa?” Begitulah naskah singkat yang saya siapkan, terkait berita tentang 10
besar cita-cita anak Indonesia, yang disiarkan sekitar Agustus 2011 lalu.
Saya
yakin 100 persen, Anda sudah tahu, menjadi anggota DPR tak masuk dalam urutan 10
besar. Ya, tentu saya yakin karena Anda pasti membaca sub-judul di atas, “Bukan
10 Besar”.
Kalau
begitu, ada di urutan berapa ya? Rasa penasaran Anda sama seperti saya. Tapi
niat menelpon itu urung terlaksana. Saya amat yakin 50 besar pun, sepertinya
tidak masuk. Kok bisa? Pengalaman kami, setiap pemetaan persepsi tentang parlemen, siapapun pesertanya, baik
mahasiswa, sarjana, bahkan kader partai, opini yang negatif selalu saja
dominan.
Nah,
mungkinkah anak-anak punya persepsi yang berbeda? Gak mungkin, karena sumbernya sama.
Sekarang,
bagaimana pendapat para orang tua di Indonesia? Ini dia beritanya!
Survei:
Orangtua Tak Mau Anaknya Jadi Anggota DPR
Dahulu, kebanyakan
orangtua menginginkan anaknya menjadi pejabat, salah satunya menjadi anggota
Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, sekarang, keadaannya berbalik. Mayoritas
orangtua tak ingin anaknya menjadi anggota Dewan. Hal itu terungkap dalam
survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dipaparkan oleh peneliti LSI Rully
Akbar, di Kantor LSI di Jakarta, Minggu (18/11/2012).Survei ini
dilakukan 12-15 November 2012, dengan jumlah responden 1.200 orang yang
ditentukan dengan multistage random sampling. Adapun, tingkat
kesalahannya plus minus 2,9 persen. Bagaimana hasil survei itu?
Sebanyak 56,43
persen responden menyatakan tidak ingin anaknya menjadi anggota Dewan di Pemilu
2014. Hanya 37,62 persen orangtua yang ingin anaknya duduk di parlemen dan 5,95
persen menjawab tidak tahu.
Angka itu hampir
sama ketika ditanya apakah responden ingin menjadi anggota Dewan di Pemilu
2014. Sebanyak 54,92 persen responden tidak ingin menjadi anggota Dewan. Hanya
38,37 persen yang ingin menjadi anggota Dewan dan 6,71 persen menjawab tidak
tahu.
Rully menambahkan,
angka itu berbeda dibanding hasil survei tahun 2008. Saat itu, mayoritas
responden atau 59,22 persen ingin anaknya menjadi anggota Dewan. Hanya 31,32
persen yang menjawab tidak ingin dan 9,46 peren tidak menjawab.
"Ada
peningkatan 25 persen publik yang tidak ingin keturunan mereka jadi anggota
DPR. Anggota Dewan tidak lagi jadi primadona orangtua," kata Rully.
Mengapa hal bisa
terjadi? Dikatakan Rully, maraknya kasus korupsi yang menjerat anggota Dewan
membuat makin pudarnya keinginan publik menjadi anggota Dewan. Selain itu,
semakin banyak anggota Dewan yang terlibat kasus amoral seperti perselingkuhan
hingga indisipliner seperti tidur saat rapat maupun bolos.
Apakah Anda ingin
keturunan Anda menjadi anggota Dewan? (Sumber: kompas.com, 18 November 2012)
Anda?
Maaf,
saya kutip sekali lagi penutup berita di atas, “Apakah Anda ingin keturunan
Anda menjadi anggota Dewan?” Hmm, yang belum punya keturunan, silakan
berandai-andai.
Nah,
jawaban Anda, tentu tergantung pada persepsi dan persepsi Anda tentang Dewan
tergantung pada? Yang mau tau, ayo
baca terus!
Media
Seorang
anggota Dewan mengeluh, “Media sih
terlalu bebas. Kalau kabar buruk, pasti diberitakan. Padahal, belum tentu
benar. Tau gak, di eksekutif itu jauh
lebih parah! Yang baik-baik, gak
diberitakan,”
Ternyata
keluhan ini, ada benarnya juga. Saya punya cerita di balik kalimat, “Padahal,
belum tentu benar”. Suatu hari, seorang
aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) menemui saya, saat menjadi staf pada
anggota DPR. Eits, tunggu dulu! Bukan sembarang aktivis lho. Pendapatnya
dikutip banyak media cetak dan elektronik.
Dengan
tergopoh-gopoh, “Mana data kemarin? Mana? Aduh! Data yang kukasih ke koran itu
salah. Dimuat lagi hari ini. Untung gak ada yang protes!” katanya sembari membolak-balik
tumpukan laporan anggaran dari satu kementerian.
Kira-kira
berapa banyak ya, orang yang dikelirukan oleh teman saya melalui media itu? Berapa
sering kekeliruan macam ini terjadi? Lalu berapa orang yang tahu kekeliruan tersebut?
Apakah mereka merasa perlu mengklarifikasinya?
Kita
tinggalkan dulu kisahnya. Saya ingin mengajak Anda untuk mengingat-ingat faktor
apa saja yang mengitari berita positif, netral, maupun negatif tentang parlemen.
Oya, kami menggunakan istilah parlemen
secara bergantian dengan sinonimnya; dewan, perwakilan, legislatif, dan DPR.
Maaf, sementara ini, tidak untuk diperdebatkan ya. Setuju? Yang setuju boleh
lanjut! Yang tidak? Boleh juga.
Apa
saja yang menyebabkan dominannya berita tentang anggota DPR di media?
1.
Banyaknya
narasumber, sumber, dan nilai berita
Ada
560 orang anggota DPR RI yang dapat menjadi narasumber sekaligus sumber berita.
Jumlah tersebut cukup besar bagi media, untuk mendapatkan berita yang bernilai.
Mari lihat, apa saja nilai peristiwa yang layak menjadi berita?
-
C
(consequences, dampak peristiwa).
Misalnya,
kenaikan harga BBM. Pendapat anggota DPR
dan fraksi tentu sangat ditunggu publik, karena akan mempengaruhi keputusan
pemerintah.
-
H
(human interest, sisi kemanusiaan).
Contoh:
beratnya perjuangan politisi perempuan, apalagi mereka yang berperan sebagai
orang tua tunggal. Tapi sayangnya, kisah macam ini jarang ditemukan di media.
-
P
(prominence, ketokohan).
Kadang
ada yang protes, “Pendapat gitu aja, kok diberitakan,” Maaf, memang ada jenis
opini yang dipublikasi bukan karena kualitas, tetapi karena siapa yang mengatakan.
Mau? Jadi tokoh dulu ya. Caranya? Antara lain dengan menjadi anggota Dewan.
-
P
(proximity, kedekatan peristiwa
dengan pembaca).
Setiap
anggota Dewan merupakan wakil dari satu daerah pemilihan. Jadi, jika pun di
tingkat nasional belum layak diberitakan, di tingkat lokal bisa jadi berita
yang bombastis.
-
T
(timeliness, kebaruan sebuah peristiwa).
Kapan
pun perstiwanya, ketika dibahas di Dewan, itu bernilai berita. Kenapa? Pertama,
pembahasan itu, berpotensi melahirkan kebijakan yang berbeda dari sebelumnya.
Kedua, kalau pun tidak ada kebijakan baru, tetap layak jadi berita. Ayo ingat,
pernah baca berita, “DPR-Pemerintah, Buntu.”
Aha!
Selalu ada alasan untuk memuat berita tentang lembaga kita yang tercinta ini.
Nilai-nilai
berita tentu tidak berdiri sendiri ia kembali dibingkai oleh sudut pandang media
terhadap sebuah peristiwa. Inilah yang melahirkan kesan positif-negatif.
2.
Keterbukaan
dan Kemudahan Akses
Meski
sejumlah kalangan mengeluhkan sulitnya akses informasi di DPR, tetapi dibandingkan
birokrasi di lembaga eksekutif dan yudikatif, DPR relatif lebih terbuka dan
mudah.
3.
Pentingnya
Fungsi Lembaga
DPR
merupakan institusi sentral dalam proses pembentukan undang-undang, pengawasan,
dan anggaran.
Dalam
masa sidang, minimal ada 33 rapat untuk 11 Komisi setiap minggu (Senin, Rabu,
Kamis). Belum termasuk rapat-rapat di alat kelengkapan Dewan lainnya. Ini semua
adalah potensi sumber berita.
4.
Kinerja
Kelembagaan dan Individu
Seperti
diketahui, ada masalah dalam kinerja DPR secara kelembagaan, misalnya tentang capaian
program legislasi nasional (prolegnas). Demikian pula dengan perilaku dan gaya
hidup oknum anggota DPR yang memang kurang patut. Bagaimana dengan Dewan di
tingkat provinsi, kabupaten, dan kota? Semakin banyaklah narasumber dan sumber
berita.
Sementara
itu, di internal media sendiri. Ada setidaknya empat faktor, yang mempengaruhi
mengapa DPR, penting dan menarik di mata media.
1.
Visi
dan Misi Perusahaan Media.
Saat
ini, berkembang kesadaran bahwa perusahaan harus berkontribusi pada nilai-nilai
kemanusiaan. Tidak semata-mata kepentingan jangka pendek. Bagaimana media
memaknainya?
Antara
lain dengan memposisikan diri sebagai pengontrol DPR, agar lembaga ini serius
bekerja dan berempati pada rakyat.
Silakan
perhatikan, siapa pengelola opini publik sehingga pimpinan DPR membatalkan
rencana pembangunan gedung baru? Media. Ya, salah satu media nasional. Media
dengan misi demikian, umumnya telah mapan secara finansial dan jaringan,
sehingga tak terpengaruh dengan posisi tawar apapun dari DPR, apalagi sekadar
pemasangan advertorial.
2.
Kepentingan
Politik
Sejatinya,
kata kepentingan politik adalah sesuatu yang netral. Tetapi dalam konteks ini,
lebih ditekankan pada perilaku media yang mendukung kepentingan jangka pendek
sebuah partai (kekuasaan). Mungkin karena itu, berita negatif anggota Dewan
dari partai yang dianggap “lawan” dipublikasikan secara besar-besaran oleh
media tersebut.
Dampaknya,
tidak hanya menimpa satu partai tetapi juga berpotensi mengganggu citra lembaga
Dewan. Kalau sudah urusan politik, rating
(peringkat) tak lagi jadi soal.
3.
Pertimbangan
Selera Pasar
Bad news is good
news (kabar
buruk adalah berita baik –layak jual). Begitulah, salah satu prinsip umum
media. Ada banyak media kecil juga hidup
dari sini. Anda pernah mengamati bagaimana berita koran-koran murah di stasiun
atau terminal. Apa isinya? Berita-berita negatif, salah satunya soal
anggota-anggota Dewan.
4.
Naluri
dan Kreativitas Jurnalis.
Anggota
Dewan juga manusia, memiliki beragam perilaku, kesenangan, dan aktivitas. Dengan
bekal persepsi, naluri, kreativitas, sangat mudah bagi media, jika ingin
menyorot mereka dalam nada negatif. Mudah sekali! Karena merek jam tangan,
seorang anggota Dewan, bisa begitu buruknya di mata media. “Padahal, itu jam
bekas lho,” kata seorang staf
anggota. “Ssst, harganya tak semahal perkiraan media,”
Sekolah
Pemerintah
berencana akan menambah jam belajar di sekolah untuk semua siswa di jenjang
pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud), Mohammad Nuh beralasan, nilai sosial yang berubah sehingga
menuntut adanya perubahan di dunia pendidikan.
"Alasannya
jelas karena ada perubahan sosial. Daripada lebih banyak di luar sekolah dan
tercemar hal negatif, lebih baik kita perpanjang waktu di sekolahnya,"
kata Nuh seusai membuka Indonesian Science Festival (ISF), di Senayan, Jakarta,
Rabu (19/9/2012).
Diakui Nuh,
berdasarkan hasil kaji ulang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud),
efektivitas pembelajaran di sekolah masih sangat kurang. "Sekarang ini,
berapa lama anak anak-anak ada di sekolah, enam sampai delapan jam. Tapi untuk
apa kalau efektivitasnya belum memuaskan, maka kita tambah waktu di
sekolahnya," pungkas Nuh. (kom/brs/ts)
Anda
pasti pernah membaca berita di atas? Coba ingat-ingat, kapan? Satu, dua, tiga! Sudah
ingat? Barusan setengah menit lalu, bukan? Ya, minimal itu.
Apa
kira-kira komentar Anda. Mungkin Anda mengatakan, “Syukurlah, kalau pak Menteri
sadar,” atau sebaliknya, “Emang di
sekolah lebih baik dari di luar? Dari mana anak-anak dapat contoh kelakuan atau kata-kata yang gak sopan?”
Baiklah,
baiklah. Apapun pendapat itu, tentu
Anda sepakat pada satu hal; sekolah perlu berperan dalam pembentukan pola
pikir, persepsi, dan perilaku anak-anak. Termasuk tentang politik. “Gak salah?” Tidak, Anda tidak salah
baca. “Mungkin salah ketik?” Tidak juga, kami tidak salah ketik, termasuk
tentang Po-li-tik.
Jadi,
saran untuk pak Menteri, lama saja tidak
cukup, efektif saja juga tak cukup.
Sekolah perlu didorong untuk memiliki misi, kurikulum, dan program pengenalan politik.
“Bagaimana
kalau dikembalikan kepada sekolah masing-masing?” Ya, boleh-boleh saja, tapi
jangan heran nanti jawabannya begini. “Oya? Oo begitu, iya bagus banget, tapi maaf sekolah kami tidak
mengajarkan itu,” Ayo pak Menteri mau bilang apa? Padahal sekolah demikian
justru berkontribusi dengan “mengizinkan” lingkungan di luar sekolah untuk
membentuk pola pikir, persepsi, dan perilaku politik anak didik mereka.
Nah,
agar sekolah dapat berkontribusi secara langsung pada tiga hal di atas, maka
ada 4 hal minimal, yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.
Pendidikan
Karakter
Sekolah
perlu lebih peduli pada pentingnya nilai hidup, karakter, dan misi manusia.
Guru dan sekolah seharusnya jauh lebih resah, ketika seorang anak didik tidak
tidak punya cita-cita, atau hal sederhana; tidak bisa antri, daripada nilai
matematikanya rendah.
Sulit
mengharapkan masa depan yang lebih baik, ketika generasi muda tidak
dipersiapkan dengan sebuah karakter yang berbeda dari generasi sebelumnya. Apa
yang mengubah sebuah generasi? Jawabnya pendidikan karakter dan kreativitas. Bukan
pendidikan berbasis hapalan dan angka-angka.
2.
Kecerdasan
Majemuk
Apa
ukuran sekolah tentang anak cerdas di hari ini? Nilai matematika, fisika,
kimia, atau bahasa Inggris. Padahal kecerdasan tak hanya itu. Bagaimana jika
ada seorang anak yang nilai matematika dan bahasanya sangat rendah, tetapi
pandai bergaul dan memiliki banyak teman?
Dalam
ilmu kecerdasan majemuk (multiple
intelligent), anak demikian disebut anak dengan kecerdasan interpersonal.
Itulah salah satu kecerdasan yang dibutuhkan sebagai anggota parlemen. Sayang
bukan, jika potensi ini dimatikan oleh sekolah. Yah, sekolah kita saat ini
tidak membedakan anak-anak berdasarkan potensi akademis dan akademia.
3.
Referensi
Politik dan Politisi Ideal
Setelah mengenalkan pentingnya
misi dan nilai hidup, sekolah perlu mengenalkan politik dan politisi ideal. Anak-anak perlu disadarkan bahwa misi itu bisa
dijalankan dengan menjadi politisi. Politisi macam apa?
Nah,
sekolahlah yang mengambil peran itu, bukan dibiarkan begitu saja.
Mungkin
ada yang bertanya, “Apa anak-anak
bisa diajak berpikir gitu? Kan masa bermain?” Yuk, baca petikan
berikut:
“Saya baru selesai membaca Of Mice and Man karya John Steinbeck.
Buku ini merasuki jiwa saya. Meresap. Saya perhatikan dalam buku ini bahwa
anak-anak tidak pernah menghakimi siapapun dari warna kulit mereka. Hanya orang
dewasalah yang menghakimi dengan cara demikian.
Yang saya pelajari dari buku itu adalah walaupun saya suatu hari kelak
akan menjadi dewasa, takkan pernah saya melupakan pelajaran-pelajaran seorang
anak,”
Itulah
ucapan seorang anak usia 4 tahun saat berdialog dengan motivator, Mr. Anthony
Robbins. Talmadge E Griffin, namanya. Ia murid dari Westside Preparatory
School, dididik oleh sang guru, Ms. Marva
Collins. Apa yang Ibu guru itu lakukan? Antara lain mengganti buku-buku cerita
“Lihatlah spot berlari,..” dengan buku-buku Shakespeare, Sophocles, dan
Tolstoy!
Hari
ini, saya dan mungkin Anda merindukan
sebuah generasi yang tak cuma membaca, “Si Budi dan Iwan bermain-main di
halaman”, tetapi juga menamatkan “Di Bawah Bendera Revolusi”. Lalu seperti
Talmadge, mereka berkata, “Meresap!”
Kita
tak kekurangan sejarah keteladanan seorang politisi, yang pejuang, yang negarawan dan hidup dalam kesederhanaan. Ada
Bung Karno yang kerap dipenjara, bahkan diasingkan. Tapi tak pernah jera untuk
kemerdekaan Indonesia. Potret kesederhanaan bisa kita dapatkan dari Bung Hatta
dengan cerita sepatu Bally yang tak terbeli
hingga wafat.
Juga ada Pak Natsir
dengan pakaian penuh tambalan, bahkan saat menjadi Menteri. Ketika masa bakti
di departemennya berakhir, beliau ke pulang ke rumah naik sepeda. Ya, hanya
membawa sebuah sepeda. Bagaimana dengan politisi hari ini? Apakah sekolah telah
mengenalkan dan menanamkan jiwa-jiwa perjuangan, kenegarawanan, kesederhanaan
mereka?
4.
Pengenalan
Kelembagaan Dewan
Setelah
memahami politik ideal, sekolah perlu mengenalkan kelembagaan Dewan, sekreatif
mungkin. Misalnya? Ya, melalui permainan, simulasi, kunjungan ke Dewan, sehari
bersama anggota Dewan, mengundang anggota Dewan ke sekolah untuk bercerita, mengajak
siswa memfasilitasi persoalan masyarakat. Misalnya, pengadaan perpustakaan
kelurahan, melalui anggota DPRD Kota.
“Eh, cerdas cermat, gimana? Penting lho,” Kalau program yang satu itu? Hmm, maaf setelah membaca
teorinya Edwad de Bono tentang kecerdasan majemuk dan menjadi pengikut
komunitas Indonesian Strong From Home bersama Ayah Edy, sepertinya cerdas cermat,
tak lagi masuk hitungan.
Kesimpulannya,
kita membutuhkan dukungan kurikulum, bahan bacaan, paradigma dan keteladanan
para guru, dan kreativitas pengajaran, untuk melahirkan sebuah generasi yang
lebih baik, yang memaknai politik dengan benar, tidak hanya berdasar pada
persepsi umum. Jika suatu saat menjadi anggota DPR masuk dalam 10 besar, di
tangan merekalah, cita-cita itu pantas tergenggam.
Lingkungan
Masih
soal cita-cita, ini lagi-lagi tak masuk 10 besar. “Anakku itu lho, cita-citanya kok jadi satpam,” kata seorang Ibu tentang anaknya yang sekolah di
Taman Kanak-Kanak. Usut punya usut, ternyata si anak melihat tetangganya yang bekerja
sebagai satpam itu, bisa membeli sebuah sepeda motor.
“Yah,
namanya juga anak-anak,” Maaf, kalau itu semua juga tahu. Pembelajarannya
adalah lingkungan akan berpengaruh pada pembentukan persepsi dan cita-cita
anak. “Hmm, bagaimana kalau dia tahu
bahwa anggota Dewan bisa punya Bentley, Lexus RX 270, Hummer HR, Mercedes Benz,
Toyota Alphard Velfire atau Harrier, dan Jeep Wrangler?” pikir saya.
Entahlah,
mungkin saja cita-citanya berganti, tetapi bisa juga tidak, karena keinginannya
memang sederhana. Atau, mungkin saja dia ingin menjadi anggota Dewan dan
keinginannya tak berubah, sebuah sepeda motor, karena dia memaknai jabatan
sebagai panggilan hidup.
Inilah
politisi yang menurut Harold D. Laswell dalam Psypathology and Politics sebagai tipe politisi idealis (berkuasa
demi sebuah cita-cita, ide besar atau keyakinan) atau setidaknya administrator
berkuasa untuk mendorong program-program partai.
Yang
dikhawatirkan, jika dia ingin menjadi anggota Dewan, hanya untuk mendapatkan
deretan mobil mewah itu dan kekuasaan. Tipe agitator, Laswell menyebutnya.
Biasanya, kategori seperti inilah yang rawan terjebak pada pemberhalaan komoditas
dan korup.
Nah,
potensi untuk menjadi tipe agitator itu sungguh terbuka lebar, saat anak-anak
tak memiliki penyaring terhadap asupan televisi,
koran, serta lingkungan sebagai penyuplai definisi bahagia dari hitungan harta
bukan dari minat dan kontribusi terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Selanjutnya? Simak di Workshop Parlemen Untuk Pemula 2013!