Jakarta-Rencana kenaikan BBM yang dilakukan
pemerintah dalam waktu dekat ini diyakini akan memukul masyarakat
berpenghasilan rendah. Seperti yang sudah-sudah, kenaikan BBM mendorong
naiknya harga pangan. Akibatnya daya beli masyarakat turun. Jika
demikian situasinya maka ancaman rawan pangan bagi masyarat kelompok ini
menjadi nyata.
Data BPS menyebutkan bahwa 60 persen penduduk miskin tinggal di
pedesaan. Dan mereka adalah petani kecil. Sampai hari ini petani
menanggung dua beban sekaligus. Disatu sisi sebagai produsen pangan
untuk menyediakan pangan penduduk negeri ini. Disisi yang lain sebagai nett consumer dengan daya beli rendah.
Kenaikan BBM dipastikan membuat petani makin menjerit. “Petani kecil
(gurem) memiliki resiko besar atas kenaikan BBM ini. Dengan pendapatan
kurang dari Rp. 500.000/bulan melonjaknya harga pangan tentu
menyulitkan. Belum lagi naiknya harga input pertanian sebagai imbas
kenaikan BMM” ungkap Said Abdullah, advokasi officer KRKP.
Masih menurut said, Sebelum kenaikan BBM saja setidaknya 55 persen
pendapatan dialokasikan untuk modal termasuk membeli benih, pupuk, dan
pestisida. Naiknya BBM diperkirakan meningkatkan harga input 10-15
persen. Belum lagi rencana pemerintah mengurangi subsidi pupuk dan benih
yang termuat dalam RAPBN P 2012. Subsidi pupuk akan dipangkas dari
Rp16,94 triliun Rancangan APBN Perubahan 2012 menjadi Rp 13,95 triliun
atau berkurang Rp 2,98 triliun.
Sementara subsidi benih dipotong hingga
53,7%, dari Rp279,9 miliar dalam APBN 2012 menjadi hanya Rp129,5 miliar
dalam RAPBN-P 2012 (Media Indonesia, 14/3/2012). Jika demikian maka
alokasi pendapatan petani untuk modal bisa sampai 60-75 persen.
Dapat dipastikan petani terus bergulung hutang untuk modal tanam.
Dengan beban seperti itu maka petani akan semakin dalam terperosok ke
jurang kemiskinan. Sekalipun pada akhir pebruari pemerintah telah
menaikan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras. Kendati naik,
angknya masih kalah jauh dibanding BBM. Bandingkan, BBM naik Rp.1000
sampai 1500/liter sementara HPP untuk gabah kering panen hanya naik tak
lebih dari Rp.900/kg. Sungguh sebuah ironi.
Padahal isu kenaikan BBM
saja serta merta mendorong harga pangan naik 10-15 persen, ungkap said.
Dengan demikian petani akan menanggung beban kenaikan disisi konsumsi
sekaligus kenaikan harga input produksi. Pemberian BLT selain tidak
mendidik,hanya pelipur lara sesaat. Kebijakan ini diyakini tidak akan
menjawab persoalan pokok petani.
Seyogyanya uang penghematan subsidi BBM yang mencapai 38 triliun
dialokasikan untuk membantu petani dari sisi produksi juga konsumsi.
Jaminan harga dan ganti rugi gagal panen, adanya ruang akses atas lahan
dan input pertanian yang tak memberatkan, adanya asuransi kesehatan dan
pendidikan bagi keluarga petani bisa jadi pilihan kebijakan yang
dibutuhkan petani.
Sudah saatnya pemerintah memperhatikan nasib petani jika tak ingin
jumlah orang miskin bertambah dan pangan tak tersedia di meja kita.
Karena petani kecilah pemberi makan negeri ini. Fakta 55 persen pangan
didunia dan 97 persen beras di indonesia adalah produksi mereka
hendaknya menjadi alasan kuat untuk membelanya. Kecuali jika kita
memilih menjadi bangsa yang tak tahu balas budi.
kedaulatanpangan.net
0 komentar:
Posting Komentar