Ada dugaan kalangan kampus atau akademisi (khususnya) di Bengkulu, tak
lagi peduli terhadap nasib petani. Salah seorang akademisi, yaitu
Priyono Prawito (Guru Besar Ilmu Tanah Universitas Negeri Bengkulu),
merasakan ada kesan seperti itu. Mengingat di masa Orde Baru, dimana
penguasa begitu represif, banyak kalangan kampus yang turun langsung
mendampingi petani Bengkulu. Mereka bahu-membahu melawan tekanan Orde
Baru. Tak heran bila banyak kalangan kampus di Bengkulu saat itu, baik
pengajar maupun mahasiswanya, juga merangkap sebagai aktivis.
Komitmen kampus yang mulai memudar itulah yang kini dipertanyakan kaum
tani di Bengkulu. Tema inilah yang dibahas program Pilar Demokrasi, yang
diselenggarakan KBR68H. Bersama tiga narasumber, yaitu Priyono Prawito
(Guru Besar Ilmu Tanah Universitas Bengkulu dan aktivis lingkungan),
Haripatono (Ketua Umum Serikat Petani Bengkulu),dan Suryawan (Kabag
Humas Pemkot Bengkulu ).
Priyono sendiri mengakui, dia tetap aktif di tengah masyarakat sampai
sekarang, kebetulan posisinya di kampus adalah di bidang pengabdian
masyarakat. Priyono melihat situasi sekarang tidak serepresif zaman Orba
dulu, itu yang menjadikan kesan, seolah-olah kalangan kampus
meninggalkan petani, juga sektor lainnya seperti pedagang kecil dan
nelayan. “Faktor represi Orba sangat menentukan, ketika punya musuh
bersama, kita bersatu untuk sama-sama melawan teror, bahkan mahasiswa
banyak yang militan,” jelas Priyono.
Hari mengakui adanya kerenggangan antara petani dengan para dosen,
yang di masa lalu juga berlaku sebagai aktivis. Sementara permasalahn
yang ada di petani, sekarang justru semakin banyak terutama
permasalahan terkait pemilikan tanah. Sekarang petani seolah berjuang
sendirian, tak ada lagi pendamping. “Petani sering bingung mencari teman
yang masih siap menyumbangkan tenaga dam pikirannya dalam mendampingi
petani, khususnya yang mengerti soal hukum, untuk mencapai hak-haknya.
Karena selama ini petani tahunya punya tanah, menanam dan hasilnya
dijual,” ujar Hari.
Suryawan berpandangan, kalangan intelektual dianggap terlampau maju,
sehingga ketika mereka tidak lagi mendampingi petani, seolah ada
ketergantungan dari petani, bukan menjadikan petani mandiri dan berdaya.
Suryawan berharap, pemerintah bisa menjadi mediator dan dinamisator.
Kemudian menjadi satu kebersamaan, maka apapun persoalan ke depan bisa
teratasi. “Sekarang yang jadi persoalan adalah kepentingan-kepentingan
yang menjadi gap, bisa kepentingan politik, atau kepentingan
perusahaan,” kata Suryawan.
Priyono menambahkan, sekarang kalau ada kasus di beberapa tempat, para
dosen secara pribadi masih mendampingi, tapi memang tidak semasif dulu
lagi, terlebih kader-kader pendamping petani juga sudah tercerai berai.
Priyono menegaskan, akademisi tetap peduli, bahkan kadang diundang ke
suatu tempat untuk mencari titik temu antara dua kelompok yang bertikai.
“Dulu memang masif, bila ada kasus di suatu tempat hampir anggota
serikat tani tahu dan mau membantu kawannya untuk bersama-sama
menyuarakan penyelesaian kasus,” ujar Priyono.
Hari menegaskan, bahwa kasus saat ini banyak sekali, mulai dari kasus
tinkatan sedang sampai kasus yang besar. Sementara Komnas HAM juga
kurang gregetnya terhadap petani, terlebih DPR. Saat menyalonkan diri
dulu, caleg DPR terlalu banyak mengumbar janji. “Kemungkinan ada kerja
sama antara pihak perusahaan dengan pemerintah, yang sengaja tidak
memberikan peluang pada petani menyampaikan aspirasinya. Kalau kita
datang ke gedung Dewan, diterima dengan senang hati, diterima dengan
sangat ramah, tetapi setelah petani keluar dari ruangan, ya sudah tidak
ada apa-apanya,” tandas Hari dengan geram. (dna/kbr68H)
0 komentar:
Posting Komentar