Sabtu, 04 Mei 2013

Menurunnya Komitmen Kampus di Bengkulu Terhadap Petani

Ada dugaan kalangan kampus atau akademisi (khususnya) di Bengkulu, tak lagi peduli terhadap nasib petani. Salah seorang akademisi, yaitu Priyono Prawito (Guru Besar Ilmu Tanah Universitas Negeri Bengkulu), merasakan ada kesan seperti itu. Mengingat di masa Orde Baru, dimana penguasa begitu represif, banyak kalangan kampus yang turun langsung mendampingi petani Bengkulu. Mereka bahu-membahu melawan tekanan Orde Baru. Tak heran bila banyak kalangan kampus di Bengkulu saat itu, baik pengajar maupun mahasiswanya, juga merangkap sebagai aktivis.

Komitmen kampus yang mulai memudar itulah yang kini dipertanyakan kaum tani di Bengkulu. Tema inilah yang dibahas program Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H. Bersama tiga narasumber, yaitu Priyono Prawito (Guru Besar Ilmu Tanah Universitas Bengkulu dan aktivis lingkungan),  Haripatono (Ketua Umum Serikat Petani Bengkulu),dan Suryawan (Kabag Humas Pemkot Bengkulu ).

Priyono sendiri mengakui, dia tetap aktif di tengah masyarakat sampai sekarang, kebetulan posisinya di kampus adalah di bidang pengabdian masyarakat. Priyono melihat situasi sekarang tidak serepresif zaman Orba dulu, itu yang menjadikan kesan, seolah-olah kalangan kampus meninggalkan petani, juga sektor lainnya seperti pedagang kecil dan nelayan. “Faktor represi Orba sangat menentukan, ketika punya musuh bersama, kita bersatu untuk sama-sama melawan teror, bahkan mahasiswa banyak yang militan,” jelas Priyono.

Hari  mengakui adanya kerenggangan antara petani dengan  para dosen, yang di masa lalu juga berlaku sebagai aktivis. Sementara permasalahn yang ada di petani,  sekarang justru semakin banyak terutama permasalahan terkait pemilikan tanah. Sekarang petani seolah berjuang sendirian, tak ada lagi pendamping. “Petani sering bingung mencari teman yang masih siap menyumbangkan tenaga dam pikirannya dalam mendampingi petani,  khususnya yang mengerti soal hukum, untuk mencapai hak-haknya. Karena selama ini petani tahunya punya tanah, menanam dan hasilnya dijual,” ujar Hari.

Suryawan berpandangan,  kalangan intelektual dianggap terlampau maju, sehingga ketika mereka tidak lagi mendampingi petani,  seolah ada ketergantungan dari petani, bukan menjadikan petani mandiri dan berdaya. Suryawan berharap, pemerintah bisa menjadi mediator dan dinamisator. Kemudian  menjadi satu kebersamaan, maka apapun persoalan ke depan bisa teratasi. “Sekarang yang jadi persoalan adalah kepentingan-kepentingan yang menjadi gap, bisa kepentingan politik, atau kepentingan perusahaan,” kata Suryawan.

Priyono menambahkan,  sekarang kalau ada kasus di beberapa tempat, para dosen secara pribadi masih mendampingi, tapi memang tidak semasif dulu lagi, terlebih kader-kader pendamping petani juga sudah tercerai berai. Priyono menegaskan, akademisi  tetap peduli, bahkan kadang diundang ke suatu tempat untuk mencari titik temu antara dua kelompok yang bertikai. “Dulu memang  masif, bila ada kasus di suatu tempat hampir anggota serikat tani tahu dan mau membantu kawannya untuk bersama-sama menyuarakan penyelesaian kasus,” ujar Priyono.

Hari menegaskan, bahwa kasus saat ini banyak sekali, mulai dari kasus tinkatan sedang sampai kasus yang besar. Sementara Komnas HAM juga kurang gregetnya terhadap petani,  terlebih DPR. Saat menyalonkan diri dulu,  caleg DPR terlalu banyak mengumbar janji. “Kemungkinan ada kerja sama antara pihak perusahaan dengan pemerintah, yang sengaja tidak memberikan peluang pada petani menyampaikan aspirasinya. Kalau kita datang ke gedung Dewan, diterima dengan senang hati, diterima dengan sangat ramah, tetapi setelah petani keluar dari ruangan, ya sudah tidak ada apa-apanya,” tandas Hari dengan geram. (dna/kbr68H)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code