Wawancara Yohannie Linggasari,
mahasiswi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran
dengan Ibu Dewi Coryati, saat menjabat sebagai anggota komisi VIII (agama, sosial, dan
pemberdayaan perempuan) DPR RI, di Dewan Pertimbangan Pusat Partai
Amanat Nasional (DPP PAN), Jalan Warung Buncit, Jakarta Selatan, pada
Kamis (23/12) sore:
Keterwakilan
perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) saat
ini sangatlah minim, yaitu 18%. Jumlah ini sudah mengalami kenaikan dari
periode sebelumnya, yaitu 11%. Lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik mengharuskan partai politik menyertakan 30%
keterwakilan perempuan. Hal ini kemudian dikenal dengan istilah affirmative action. Affirmative action sempat mengundang kontroversi. Apakah affirmative action sudah efektif atau hanya aturan belaka yang kemudian pelaksanaannya seperti dipaksakan?
Bagaimana
peran perempuan di DPR dalam meningkatkan kesejahteraan perempuan di
Indonesia? Sejauh mana jumlah 18% ini mampu memberi dampak yang positif
bagi kebijakan yang berkaitan dengan perempuan? Apa pendapat mereka
mengenai affirmative action?
Permasalahan
mengenai perempuan di Indonesia masih tinggi dan terksesan kurang
penanganan. Permasalahan itu antara lain, kematian ibu yang masih
tinggi (tertinggi di ASEAN), perempuan buta aksara yang mencapai
sekitar 60%, perdagangan perempuan, dan masih banyak lagi. Berapa
banyak anggaran yang dikeluarkan untuk pemberdayaan perempuan?
Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Yohannie Linggasari,
mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran
mewawancarai Dewi Coryati, anggota komisi VIII (agama, sosial, dan
pemberdayaan perempuan) DPR RI. Berikut ini petikan wawancara Yohannie
Linggasari dengan Dewi Coryati, di Dewan Pertimbangan Pusat Partai
Amanat Nasional (DPP PAN), Jalan Warung Buncit, Jakarta Selatan, pada
Kamis (23/12) sore:
Bisa diceritakan awal Anda terjun ke dunia politik?
Pertama-tama,
saya mengantar ibu saya ke DPP PAN. Ibu saya adalah pengurus PAN. Saya
kemudian tertarik untuk bergabung. Pada tahun 2000 saya masuk menjadi
anggota DPP PAN. Setelah saya masuk ternyata banyak yang dapat saya
lakukan. Dengan masuk partai politik menjadi punya kekuatan untuk
melakukan perubahan. Misalnya saja memberi masukan terhadap
kebijakan-kebijakan kepada anggota dewan.
Apakah Anda mendapat dukungan penuh dari keluarga?
Ya.
Kalau tidak, pasti akan lebih sulit. Tentu akan lebih nyaman bila
mendapat dukungan penuh dari suami, keluarga, dan anak. Apalagi, jadwal
kerja saya padat sehingga membutuhkan banyak pengertian dan dukungan
dari keluarga.
Sebelumnya apa pekerjaan Anda?
Sebelumnya
saya bekerja sebagai dokter hewan. Pada tahun 2003 saya mau mencalonkan
diri menjadi calon legislatif di daerah pilihan Bengkulu. Saya
kemudian berhenti menjadi dokter hewan dan berkampanye dengan serius.
Anda sudah ikut pemilu berapa kali?
Sudah
dua kali. Pada pemilu yang pertama saya banyak mendapat pelatihan.
Waktu itu masih sistem nomor urut dan saya mendapat nomor dua. Saya
tidak bisa maju padahal jumlah suara saya bagus. Dengan berbekal
pelatihan-pelatihan yang saya ikuti, saya kemudian ikut pemilu yang
kedua. Saya mendapat nomor dua lagi. Saya mengerahkan ilmu, strategi,
biaya, dan melakukannya dengan sungguh-sungguh. Saya mendapat suara
terbanyak. Namun, suara itu hilang. Saya kemudian mengajukan gugatan ke
Mahkamah Konstitusi Perjuangan dan saya berhasil.
Tampaknya sebuah perjuangan yang sulit untuk menjadi anggota DPR?
Ya.
Tidak mudah untuk mendapat kursi, apalagi perempuan. Hal itu karena
perempuan lebih sulit di bidang finansial dibandingkan laki-laki.
Banyak uang yang dikerahkan bila ingin kampanye.
Ada anggapan perempuan di partai politik hanya sebagai pelengkap saja untuk memenuhi kuota 30%.
Affirmative action
ini kan tindakan sementara. Mengapa ada tindakan sementara? Hal ini
karena perempuan tak mungkin dibiarkan bertarung bebas. Mengapa? Startingnya
saja sudah beda. Laki-laki sudah sangat terbiasa dengan dunia politik.
Perempuan merasa kesulitan untuk masuk ke bidang ini. Oleh karena itu
ada affirmative action. Kuota 30% bukan angka yang asal
comot. Angka 30% ini sudah melalui penelitian di mana dengan 30% dalam
komunitas maka suara akan terdengar. Sudah dihitung secara ilmiah.
Rasanya profesi sebagai anggota DPR ini banyak diminati selebritis.
Tidak
masalah. Saya dengan selebritis sama. Kebetulan selebritis sudah banyak
dikenal orang. Politik itu kan yang paling penting pertama-tama adalah
awareness. Lagipula saya lihat teman-teman artis yang masuk PAN dan menjadi anggota DPR bagus kinerjanya.
Anda tak merasa tersaingi?
Tidak perlu. PAN sudah membuktikan bahwa dari sekian banyak selebritis hanya sedikit yang terjaring.
Banyak kasus suap ya saat pemilu?
Mungkin saja. Namun, harus dibedakan antara money politic dengan cost politic.
Ada stereotipe yang pantas jadi pemimpin itu laki-laki.
Pemimpin
itu ditentukan oleh kualitas, kebijaksanaan, dan juga kepintarannya.
Bisa juga perempuan menjadi pemimpin. Jangan lupa dulu para pemimpin
banyak yang perempuan. Contohnya saja, Cut Nyak Din dari Aceh.
Perempuan itu cenderung lebih sabar dan lebih fokus. Namun, itu kembali
lagi ke karakter individunya.
Arti kesetaraan gender bagi Anda?
Semua
orang, baik perempuan ataupun laki-laki memiliki kesempatan yang sama.
Gender itu bukan hanya menyangkut perempuan. Oleh karena itu, harus
diperjuangkan kedua belah pihak. Bila ada laki-laki yang merasa
tertindas, harus diperjuangkan juga.
Apakah dengan adanya 18% perempuan di DPR membawa perubahan?
Tentu.
Ada kebijakan mengenai perempuan yang bisa diwakilkan laki-laki. Akan
tetapi, ada kebijakan yang hanya dapat dibuat oleh perempuan. Contohnya
saja tentang melahirkan. Tentu hanya perempuan yang memahaminya. Dalam
segala kebijakan yang dibuat, perempuan akan selalu teringat pada
anaknya yang perempuan. Seorang perempuan pastinya akan lebih mengerti
kebutuhan perempuan.
Anda siap untuk terus memperjuangkan kepentingan perempuan?
Ya, tentu. Untuk itulah saya ada.
Apakah anggota DPR perempuan semuanya sudah memenuhi standar sebagai wakil rakyat?
Saya tak bisa menilai teman saya. Saya lihat banyak perempuan yang pintar di DPR. Di media itu bad news is good news,
bukan? Banyak pekerjaan kita yang baik tidak diliput sedangkan yang
buruk langsung diberitakan. Misalnya saja tidur saat rapat langsung
menjadi pemberitaan di media.
Menurut Anda tidur saat rapat itu sah-sah saja?
Itu
hal yang manusiawi. Sering kali rapat sampai berjam-jam dan sampai
malam. Lebih baik tidur daripada tidak datang, bukan? Tidur itu kan
hanya beberapa menit. Setelah tertidur kan bangun lagi dan fokus lagi.
Sebanyak 70% penyandang buta aksara di Indonesia adalah perempuan. Padahal menurut penelitian Program for International Student Accessment (PISA) 2009, perempuan memiliki kemampuan membaca lebih baik daripada laki-laki. Bukankah ini menyedihkan?
Ya.
Ini kembali lagi ke masalah budaya. Di Indonesia ini budaya
patriarkinya masih sangat kuat. Kalau ada dua anak, satu perempuan dan
satu laki-laki dalam sebuah keluarga, pasti yang disekolahkan anak
laki-laki. Selain itu, masih banyak golongan miskin di Indonesia, di
mana banyak perempuan di dalamnya, sehingga jumlah penyandang buta
aksara ini masih cukup tinggi.
Sudahkah ada program-program untuk memberdayakan perempuan-perempuan yang buta aksara ini?
Sudah.
Misalnya saja dari bidang ekonomi dengan pengembangan Usaha Kecil
Menengah (UKM) untuk perempuan-perempuan. Bila ekonomi sudah
ditingkatkan, tentunya ibu-ibu tersebut akan mempunyai uang untuk
menyekolahkan anaknya yang perempuan. Lagipula sudah ada dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS). Namun, sering kali orangtuanya tak mau
menyekolahkan dan menyuruh anak perempuannya bekerja. Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) menetapkan 20% untuk pendidikan.
Sebenarnya mereka bisa sekolah, tetapi orangtuanya keberatan.
Undang-Undang
Pengembangan Keluarga dan Populasi Nomor 52 tahun 2009 dan
Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 memberi izin pemberian
layanan kesehatan hanya pada pasangan yang menikah serta pemasangan alat
kontrasepsi yang harus meminta persetujuan suami. Yang tidak menikah
tidak mendapatkan layanan kesehatan reproduksi. Bukankah ini
diskriminatif?
Tidak.
Negara kita kan negara beragama. Kita juga menganut Pancasila dan sila
pertama adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Ada enam agama yang diakui.
Norma-norma hukum (menikah) harus dijalankan. Kita tak boleh melegalkan
hal yang dilarang oleh agama.
Jadi ini menyangkut masalah moral?
Ya.
Bukankah
sekarang bukan lagi masalah moral yang dipersoalkan? Nyatanya, sekarang
banyak yang sudah melakukan seks bebas. Bila ada penanganan dari
pemerintah berupa layanan kesehatan reproduksi, dapat mencegah penyakit
seksual menular.
Permasalahannya
adalah dana terbatas. Harus memprioritaskan yang menikah dulu. Yang
menikah saja belum terurus semua. Justru kita harus menyadarkan yang tak
mau menikah untuk menikah. Biar statusnya jelas. Tuhan juga
mengamanatkan untuk berkeluarga. Apabila tidak menikah, yang dirugikan
perempuan. Tidak dapat harta gono gini dan apabila ada anak tidak ada
akta kelahiran.
Perdagangan
perempuan merupakan masalah yang kompleks. Banyak yang tertipu atau
memang terpaksa menjual diri karena faktor ekonomi. Harus mulai dari
mana pemberantasan perdagangan perempuan ini?
Masalah
ini layaknya benang kusut. Saya rasa harus mulai dari masalah ekonomi.
Negara seharusnya memberi lapangan pekerjaan yang memadai. Dengan
menumbuhkan ekonomi keluarga maka pendidikan keluarga pun akan
terbangun.
Sasaran Millenium Development Goals
(MDGs) untuk angka kematian ibu (AKI) adalah 103 per 100.000 kelahiran.
Sedangkan data terakhir menunjukkan angka kematian ibu di Indonesia
mencapai 228 per 100.000 kelahiran. Mengapa masih jauh dari target?
Alasan
yang pertama adalah masalah gizi yang buruk. Hal ini juga disebabkan
oleh kurangnya pendidikan kesehatan, pendidikan pranikah, dan
pendidikan melahirkan. Sarananya pun masih kurang. Namun, pengurangan
AKI ini ditangani serius oleh pemerintah. Sekarang sudah tersedia bidan
di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang sudah menjangkau
desa-desa.
Saat
ini sudah banyak undang-undang yang melindungi perempuan, seperti
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, Undang-Undang Pornografi, dan Peraturan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2010. Apakah undang-undang tersebut sudah efektif?
Belum.
Sosialisasinya masih kurang. Masih banyak perempuan yang tak tahu akan
undang-undang tersebut. Perempuan yang menjadi korban kekerasan juga
masih banyak yang memilih untuk bungkam. Aparat penegak hukum pun masih
kurang paham dalam menyikapi kasus-kasus.
Sempat
muncul di berita bahwa Batam sudah menetapkan pajak untuk prostitusi.
Isu kemudian berkembang menjadi bagaimana bila prostitusi dilegalkan di
Indonesia karena dapat menambah pajak untuk Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD). Bagaimana Anda memandang isu ini?
Pajak
itu kan untuk kesejahteraan rakyat. Kalau dalam agama Islam hal untuk
kebaikan harus dari hal yang baik. Tidak boleh bertentangan dengan
agama. Prostitusi kan tidak halal. Ya tidak boleh dong. Hal ini kembali lagi ke moral.
Apa pendapat Anda tentang tes keperawanan?
Menurut
saya itu berlebihan. Kalau memang setelah dites lalu tidak perawan, apa
efeknya? Itu kan hanya mempermalukan orang saja dan tidak membuat
menjadi lebih baik.
Banyak Tenaga Kerja Wanita (TKW) kita yang nasibnya terkatung-katung di bawah jembatan di Jeddah, Arab. Apakah sudah ada penanganan dari pemerintah untuk TKW yang terlantar di Arab?
Menurut
sebuah sumber, mereka sudah ditangani. Namun permasalahannya, pekerja
itu banyak yang ilegal. Banyak yang keadaannya tak diketahui. Bahkan,
katanya di sana ada sindikat di mana pekerja-pekerja itu
dipindah-pindahkan sehingga tidak terlacak lagi. Kalau dari agen resmi,
ya lancar-lancar saja penanganannya.
Ada anggapan bahwa pemerintah tak serius dan tak tegas menangani TKW.
Sebenarnya
masalah TKW ini sudah diatur dalam Undang-Undang Tenaga Kerja. Namun,
memang permasalahan TKW ini sulit diatasi karena banyak TKW yang tidak
mempunyai keterampilan yang baik. Pengawalannya saja sudah tidak
maksimal.
Berapa jumlah anggaran untuk pemberdayan perempuan?
Sangat
kecil sekitar 180 miliar. Menurut penelitian, penyerapannya memang
kurang bagus. Dalam rapat dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan,
kita akan mendukung dan mendorong peningkatan anggaran pemberdayaan
perempuan. Namun, kenaikan anggaran tersebut tergantung dari
kementeriannya juga.
Apakah semua kebijakan di tiap bidang sudah mementingkan perempuan?
Biasanya
kalau ada kebijakan yang menyentuh perempuan, perempuan di komisi itu
akan mendorong untuk hal yang positif bagi perempuan. Contohnya saja,
di komisi VIII, pendidikan Islam tidak membedakan perempuan dan
laki-laki. Itu yang kita dorong. Oleh karena itu, jumlah perempuan di
DPR harus ditingkatkan karena kuantitas juga penting.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah
melakukan penelitian dan mencatat bahwa dalam peristiwa Tragedi Mei
1998 telah terjadi banyak pemerkosaan dan tindak kekerasan terhadap
perempuan. Namun, katanya pemerintah tak mau mengakui.
Pemerintah
juga pasti menyelidiki apakah hal tersebut benar. Saya tak tahu sejauh
mana. Namun, bila pembuktiannya kuat pasti bisa ditangani. Hal ini
butuh dorongan politik. Bila Komnas Perempuan memang mempunyai
bukti-bukti yang kuat tetapi tetap tak terdengar, maka ia butuh bantuan
orang lain. Misalnya saja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya.
Mungkin juga bisa dimasukkan ke pengadilan dan diselesaikan dengan jalur
hukum.
Anak
terlantar di Indonesia mencapai 5,4 juta. Katanya anak terlantar
dilindungi negara? Namun kenyataannya masih banyak anak terlantar di
jalanan yang tak tertangani.
Dinas
sosial sudah membuat fasilitas untuk mereka, tetapi tak tertampung
semua. Anak jalanan dan terlantar setiap hari diberi sekolah formal dan
diberi kegiatan ekstra kurikuler seperti bela diri dan menari. Kalau
yang lanjut, diharapkan saat dilepas sudah bisa mandiri. Akan tetapi,
ada yang sudah tertampung kemudian kabur. Mereka tidak betah karena
sudah terbiasa di jalan.
Beralih ke masalah haji, sebanyak 273 jemaah haji meninggal di Mekah.
Pemerintah
sudah melakukan persiapan dengan baik. Jemaah haji yang akan berangkat
sudah dicek kesehatannya dan diobati terus. Kebanyakan menderita darah
tinggi. Selain itu, banyak jemaah haji yang sudah tua. Bila penyakitnya
tak dapat ditoleransi, maka tak diizinkan berangkat. Akan tetapi, di
sana tentu sulit mengontrol kesehatan mereka. Cuaca yang buruk, fisik
yang tua, kemudian banyak makan daging kambing membuat kesehatannya
memburuk sampai meninggal. Angka 273 itu sudah sangat sedikit.
Jumlahnya sudah turun drastis.
Sebentar
lagi hari raya Natal. Gereja-gereja banyak dilindungi oleh polisi
karena khawatir dibom. Tampaknya belum tercipta kerukunan beragama di
Indonesia yang menganut Bhinneka Tunggal Ika?
Kasus
pengeboman gereja hanya kasus kecil saja. Secara umum kan baik-baik
saja. Tidak benar bila disebut belum tercipta kerukunan umat beragama
di Indonesia.
Bagaimana dengan kerusuhan besar seperti kerusuhan di Poso yang merupakan konflik agama?
Banyak
tesis yang meneliti kerusuhan tersebut dan hasilnya menyebutkan
kerusuhan tersebut bukan karena agama. Mungkin ada yang provokatif.
Bila
bicara mengenai peraturan daerah (perda) di Indonesia, ditemukan banyak
perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Contohnya saja, Perda Nomor 5 Tahun 2003 di Aceh yang
mengharuskan perempuan berjilbab. Kemudian Perda Nomor 8 Tahun 2005
tentang pelarangan pelacuran di Tangerang yang praktiknya merugikan
perempuan yang tak bersalah. Sementara itu, setidaknya ada dua kota di
Indonesia yaitu Makassar dan Padang yang mengharuskan perempuan
berbusana muslim.
Saya
setuju dengan Perda Nomor 8 Tahun 2005 di Tangerang, tetapi dalam
praktiknya harus ada bukti yang jelas bila yang ditangkap itu memang
pelacur. Jangan sampai bila ada perempuan yang menggunakan rok mini
saja ditangkap dan dituduh pelacur. Aparat
penegak hukumnya juga harus benar-benar mengerti perda tersebut. Untuk
Perda Nomor 5 Tahun 2003 di Aceh itu disebabkan karena di Aceh itu
menjalankan syariat Islam. Di sana kan kebanyakan orang Islam. Ya
tentunya harus memakai jilbab. Untuk permasalahan yang di Makassar dan
Padang itu dalam pembentukan perda kan lewat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), di sana pastinya ada anggota DPRD yang bukan muslim.
Seharusnya saat perda itu dibuat, mereka mengajukan keberatan. Kalau
sudah disahkan baru protes, berarti anggota DPRD yang bukan muslim itu
yang kurang tanggap.
Anda setuju bila Indonesia dijadikan negara Islam?
Tidak.
Islam tidak untuk menjadi negara. Negara itu kebijakannya memang harus
berdasarkan moral dan agama. Agama dan negara tidak bisa dipisahkan,
tetapi agama juga tidak dijadikan landasan. Agama itu dijadikan nilai.
Agama kan mengajarkan kebaikan.
Benar tidak pernah terjadi perpecahan internal di PAN?
Tidak. Itu hanya konflik biasa saja.